Bukti untuk Sedevakantisme & bahwa Fransiskus Bukan Paus dari Teks Gerejawi
Januari 18, 2022
SUPPORT
Copy Link
https://endtimes.video/id/sedevakantisme-paus-st-selestinus/
Copy Embed
vatikankatolik.id - Saluran dalam Bahasa Indonesia

| | | | | |

Di dalam video ini, kami akan membahas beberapa teks yang sangat penting yang berkenaan dengan ajaran Gereja Katolik bahwa seseorang yang memegang jabatan di dalam Gereja, tetapi yang mengkhotbahkan bidah secara terang-terangan, kehilangan otoritas sejak saat ia mengkhotbahkan bidah tersebut, bahkan jika belum ada suatu deklarasi yang dibuat terhadap orang itu.

St. Robertus Bellarminus, De Romano Pontifice, Buku 2, Bab 30: “ … seorang Paus yang adalah bidah secara manifes [terang-terangan] secara otomatis berhenti menjadi Paus dan kepala, layaknya ia berhenti menjadi seorang Kristiani dan seorang anggota Gereja. Maka dari itu, ia dapat dihakimi dan dihukum oleh Gereja. Ini adalah ajaran dari semua Bapa Kuno yang mengajarkan bahwa para bidah manifes langsung kehilangan semua yurisdiksi.”

Hal ini berkaitan secara langsung dengan posisi Katolik yang benar pada zaman kita ini, yakni bahwa para klaiman Kepausan pasca-Vatikan II adalah Anti-Paus yang bidah dan bahwa Takhta St. Petrus kosong. Posisi ini sering disebut sebagai posisi sedevakantis.

Kami akan berfokus kepada teks-teks yang berasal dari Paus St. Selestinus sehubungan dengan sang bidah Nestorius, dan prinsip yang akan kami bahas bukan hanya berlaku kepada hilangnya jabatan akibat bidah tetapi juga terhadap bagaimana bidah menjadi impedimen (halangan) untuk mengambil jabatan.

Nestorius adalah Uskup Konstantinopel. Ia dikutuk sebagai seorang bidah pada Konsili Efesus di tahun 431 karena ia menyangkal fakta bahwa Maria adalah Bunda Allah dan karena ia menentang kebenaran bahwa Yesus Kristus adalah satu Pribadi Ilahi. Tuhan kita, tentunya, adalah satu Pribadi Ilahi dengan dua kodrat. St. Sirilus, yang adalah Uskup Aleksandria, melawan serta membantah Nestorius. St. Sirilus memimpin pada Konsili Efesus di bawah otoritas dari Sri Paus pada waktu itu, Paus St. Selestinus.

Nestorius dimakzulkan secara resmi oleh Konsili Efesus pada tahun 431. Tetapi, ajaran sesat Nestorius telah dikutuk pada suatu Sinode di Roma di tahun sebelumnya, pada tahun 430. Pada tahun 430, Paus St. Selestinus juga menugaskan St. Sirilus untuk bertindak sebagai wakilnya, untuk memperingatkan dan memberi tahu Nestorius bahwa jika Nestorius tidak mencabut pernyataannya dalam kurun waktu sepuluh hari, ia akan dijatuhi hukuman ekskomunikasi dan St. Sirilus akan mengurusi Takhta Nestorius atas nama Roma. Paus Selestinus jelas melaksanakan otoritas atas St. Sirilus dan Nestorius, dan St. Sirilus mengakui otoritas Paus Selestinus untuk melakukannya.

Walaupun video ini tidak membahas bukti untuk Kepausan di masa Gereja awal, kasus Nestorius adalah suatu contoh lain tentang bagaimana Keutamaan Yurisdiksi Kepausan diakui di Dunia Timur pada masa itu. Faktanya, kasus Nestorius membuktikan Katolisisme dan posisi sedevakantis.

Nah, sebelum Nestorius dimakzulkan secara resmi oleh Konsili Efesus, dan sewaktu proses hukum gerejawi sedang diadakan terhadap Nestorius, Paus St. Selestinus menulis beberapa pucuk surat tentang situasi ini pada musim panas tahun 430. Salah satu suratnya ditujukan kepada Yohanes dari Antiokhia, di mana Sri Paus menulis:

“Si quis vero ab episcipo Nestorio aut ab iis qui eum sequuntur, ex quo talia praedicare coeperunt, vel excommunicatus vel exutus est seu antistitis seu clerici dignitate, hunc in nostra communione et durasse et durare manifestum est, nec iudicamus eum remotum: quia non poterat quenquam eius removere sententia, qui se iam præbuerat ipse removendum.” 

Paus St. Selestinus I, Kepada Yohanes dari Antiokhia, 430 M: “Tetapi jika seseorang telah diekskomunikasikan atau diberhentikan dari jabatan keuskupan atau imamat oleh Uskup Nestorius atau oleh para pengikutnya, setelah mereka mulai mengkhotbahkan hal-hal semacam itu [yakni, bidah Nestorian], jelas adanya bahwa orang semacam itu telah terus berteguh dan masih terus berteguh dalam persekutuan Kami, dan Kami menghakiminya sebagai belum diberhentikan: sebab vonis dari pria itu yang telah menunjukkan bahwa dirinya sendiri harus diberhentikan tidak mampu memberhentikan seorang pun.”

Pertimbangkanlah kata-kata Sri Paus ini. Sri Paus mengajarkan bahwa tindak-tindak ekskomunikasi atau pemakzulan yang dilakukan oleh Nestorius – sejak saat Nestorius mulai mengkhotbahkan bidah – tindak-tindak itu tidak valid. Sri Paus juga berkata bahwa pria itu, yakni, Nestorius, yang telah menunjukkan bahwa dirinya sendiri harus diberhentikan, tidak mampu memberhentikan seorang pun.

Maka, Nestorius tidak memiliki otoritas untuk memberhentikan seorang pun sebelum ia dideklarasikan sebagai diberhentikan oleh suatu vonis Gereja, berdasarkan fakta bahwa Nestorius telah menunjukkan bahwa dirinya harus diberhentikan akibat mengkhotbahkan bidah. Jadi, sebelum adanya pemberhentian atau deklarasi mana pun, orang yang mengkhotbahkan bidah-bidah semacam itu tidak mampu bertindak. Paus Selestinus jelas mengajarkan bahwa Nestorius, sejak saat ia mulai mengkhotbahkan bidahnya, secara otomatis kehilangan yurisdiksi atau otoritasnya. Hal ini membuktikan lebih lanjut bahwa para bidah manifes kehilangan yurisdiksi sebelum mereka dideklarasikan atau dikutuk secara resmi oleh vonis atau penghakiman mana pun dari siapa pun.

Mereka secara otomatis terasing dari Gereja Katolik dan kehilangan otoritas tas dasar hukum ilahi.

Paus Selestinus membuat poin-poin yang serupa di dalam suratnya kepada para imam dan rakyat Konstantinopel, yang dikirimkan pada waktu yang bersamaan. Ia menyatakan:

“Ne tamen vel ad tempus, eius videatur valere sententia, qui in se iam divinam sententiam provocarat, aperte Sedis nostrae sanxit auctoritas, nullum sive episcopum sive clericum seu professione aliqua christianum qui a Nestorio vel eius similibus, ex quo talia praedicare coeperunt, vel loco suo vel communione deiecti sunt, vel eiectum vel excommunicatum videri.  Sed hi omnes in nostra communione et fuerunt et usque nunc perdurant, quia neminem vel deiicere vel removere poterat qui praedicans talia titubabat.” (Caelestiims Papa, epist. 11, n. 7, Migne, Patr. Lat. Tom. 50)

Paus St. Selestinus I, Kepada para Imam dan Rakyat Konstantinopel, 430 M: “Bagaimanapun, untuk mencegah agar vonis dari ia yang telah menjatuhkan suatu vonis ilahi atas dirinya sendiri tidak tampak memiliki kuasa bahkan untuk satu saat pun, otoritas dari Takhta Apostolik Kami telah secara terbuka menetapkan bahwa uskup, imam, atau orang Kristen dari profesi mana pun, yang telah dimakzulkan dari posisi mereka atau dari persekutuan oleh Nestorius dan mereka yang merupakan bagian dari kelompoknya sejak saat [ex quo] mereka mulai mengkhotbahkan bidah, tidak boleh dianggap sebagai dimakzulkan atau diekskomunikasikan. Tetapi semua orang ini telah dan sampai sekarang masih berada di dalam persekutuan Kami, sebab barangsiapa terjerembap karena ia mengkhotbahkan hal-hal semacam itu tidak mampu memakzulkan atau memberhentikan seorang pun.”

Seperti yang dapat kita lihat, Sri Paus mengajarkan kebenaran yang sama tentang hilangnya yurisdiksi secara otomatis dan ia menggunakan otoritas dari Takhta Apostolik. Ia secara eksplisit menyatakan bahwa Nestorius telah menjatuhkan suatu vonis ilahi atas dirinya sendiri. Kata-kata Sri Paus itu mengacu kepada hukum ilahi, yang mendepak para bidah terang-terangan keluar dari Gereja Katolik secara otomatis dan merampas yurisdiksi dari diri mereka. Perkataan Sri Paus ini tidak perlu penjelasan lebih lanjut. Tetapi, beberapa bidah anti-sedevakantis yang luar biasa tidak jujurnya, sungguh dengan lancang mengklaim bahwa apa yang dikatakan oleh Paus Selestinus di sini adalah bahwa ekskomunikasi dan pemakzulan yang diberlakukan oleh Nestorius dan orang-orang yang seperti dirinya dibatalkan oleh suatu deklarasi di kemudian hari.

Klaim semacam itu adalah omong kosong dan hampir tidak perlu ditanggapi. Tetapi, untuk membantah lebih lanjut klaim itu, seseorang dapat mencatat bahwa sewaktu Paus Selestinus berbicara tentang waktu atau saat sejak dari mana [ex quo] Nestorius mulai mengkhotbahkan bidah (praedicare coeperunt), yang sudah terjadi jauh sebelum Nestorius divonis atau dideklarasikan sebagai terekskomunikasi, Sri Paus berkata bahwa Nestorius tidak mampu memberhentikan seorang pun.

Sri Paus menggunakan kata poterat, yang ada dalam kala linguistik imperfek. Kala linguistik imperfek mengacu kepada masa lalu. Secara harfiah, Paus Selestinus menuliskan bahwa Nestorius tidak mampu memberhentikan seorang pun (neminem). Maka, sejak waktu atau saat [ex quo] Nestorius mulai mengkhotbahkan bidah (praedicare coeperunt), ia tidak mampu memberhentikan seorang pun.

Pernyataan Sri Paus itu tentunya tidak berarti bahwa Nestorius mampu memberhentikan seseorang sampai suatu deklarasi dikeluarkan di kemudian hari. Tidak, artinya: Nestorius kehilangan otoritasnya untuk memberhentikan atau memakzulkan seseorang sejak saat ia mulai mengkhotbahkan ajaran sesatnya, jauh sebelum suatu deklarasi dibuat oleh Gereja atau seorang pun. Paus Selestinus sungguh menyampaikan prinsip bahwa para bidah terang-terangan secara otomatis kehilangan otoritas atas dasar hukum ilahi, dan siapa pun yang menyangkal kebenaran ini tidaklah jujur.

Itulah mengapa di dalam Buku II, bab 30 dari De Romano Pontifice – di dalam bagian yang membahas bagaimana para bidah manifes kehilangan yurisdiksi secara otomatis sebelum suatu penghakiman atau ekskomunikasi apa pun – St. Robertus Bellarminus mengutip kedua teks dari Paus St. Selestinus ini untuk memperkuat argumennya. Setelah mengutip teks-teks tersebut, St. Robertus Bellarminus menyatakan:

“[Paus] Nikolas I mengulangi dan menegaskan hal yang sama ….”

Maka, ajaran Paus Selestinus bahwa Nestorius kehilangan otoritas sejak saat ia mulai mengkhotbahkan bidah, dan bahwa para bidah terang-terangan kehilangan yurisdiksi secara otomatis, adalah posisi dari Takhta Apostolik serta para Paus.

Segera setelah St. Bellarminus mengutip teks-teks ini, ia membantah penolakan dari beberapa orang yang berargumen bahwa Paus Selestinus dan para bapa lainnya semata-mata berbicara tentang hukum-hukum gerejawi yang berlaku pada masa itu tentang hilangnya yurisdiksi secara otomatis, yang, menurut mereka, dibatalkan oleh hukum gerejawi dari Konsili Konstanz. St. Bellarminus membantah penolakan itu dengan menyatakan:

“Nam Patres illi cum dicunt, haetericos amittere iurisdictionem, non allegant ulla iura humana, quae etiam forte tunc nulla exstabant de hac re, sed argumentantur ex natura haeresis.  Concilium autem Constantiense, non loquitur nisi de excommunicatis; id est, de his, qui per sententiam Ecclesiae, amiserunt iurisdictionem.  Haeretici autem etia ante excommunicationem sunt Extra ecclesiam, & privativi omni iurisdictione, sunt enim proprio iudicio condemnati; ut docet Apostolus ad Titum 3; hoc est praecisi a corpore Ecclesiae sine excommunicatione, ut Hieronymus exponit.”

St. Robert Bellarminus, De Romano Pontifice, Buku 2, Bab 30: “Sebab sewaktu para Bapa itu berkata bahwa para bidah kehilangan yurisdiksi, mereka tidak mengemukakan suatu hukum manusiawi pun, yang tidak satu pun dari antaranya mungkin sudah ada pada waktu itu tentang perkara ini, tetapi para Bapa itu berargumentasi atas dasar kodrat bidah tersebut. Sedangkan Konsili Konstanz, tidak berbicara kecuali tentang orang-orang yang diekskomunikasikan; yakni, tentang mereka yang melalui suatu vonis Gereja telah kehilangan yurisdiksi. Para bidah, bagaimanapun, bahkan sebelum suatu ekskomunikasi berada di luar Gereja dan kehilangan segala yurisdiksi, sebab mereka dikutuk oleh penghakiman mereka sendiri, seperti yang diajarkan oleh sang Rasul di dalam Titus 3. Dalam kata lain, mereka telah terpotong dari tubuh Gereja tanpa ekskomunikasi, seperti yang dijelaskan oleh Hieronimus.”

Jadi, para bidah manifes kehilangan yurisdiksi secara otomatis, oleh karena hukum ilahi sendiri, berdasarkan kodrat bidah tersebut sebelum suatu ekskomunikasi apa pun. Seseorang yang membaca karya St. Bellarminus ini akan melihat bahwa ia mengulang-ulangi poin ini, bahwa para bidah terpotong dari Gereja oleh karena diri mereka sendiri, sebelum suatu penghakiman mana pun dari Gereja, atas dasar kodrat bidah tersebut, dst. Walaupun demikian, beberapa tradisionalis palsu tertentu akan berkata bahwa maksud sesungguhnya dari St. Bellarminus di sini sepenuhnya berlawanan, yakni, bahwa orang-orang yang mengkhotbahkan bidah hanya kehilangan otoritas setelah orang lain menghakimi atau memvonis mereka. Pernyataan semacam itu adalah suatu misrepresentasi yang tercela.

Posisi St. Bellarminus adalah bahwa seorang bidah terang-terangan kehilangan yurisdiksi dan jabatan sebelum deklarasi apa pun. Hal itu terbukti secara jelas dari kata-katanya dan dari referensi-referensinya kepada Paus St. Selestinus tentang perkara ini yang mengajarkan hal yang sama.

Jadi, menimbang fakta-fakta ini, untuk membuktikan bahwa para pemimpin Sekte Vatikan II tidak memegang yurisdiksi, seseorang bahkan tidak perlu pertama-tama berfokus kepada bilamana mereka adalah bidah (yang tentunya, mereka memang demikian adanya). Tetapi, seseorang dapat dengan sederhana membuktikan bahwa mereka mengkhotbahkan bidah secara terang-terangan. Seseorang yang mengkhotbahkan bidah secara terang-terangan tidak dapat memiliki yurisdiksi atas para umat beriman. Seperti yang dikatakan oleh St. Bellarminus:

Robertus Bellarminus, De Romano Pontifice, Buku 2, Bab 30: “ … akan menjadi kondisi yang paling menyedihkan bagi Gereja, seandainya ia dipaksa untuk mengakui seekor serigala, yang secara terang-terangan berkeliaran mencari mangsa, sebagai seorang gembala.”

Jika seorang individu adalah serigala yang memangsa orang-orang dengan khotbah yang bidah, ia tidak memegang yurisdiksi di dalam Gereja Katolik. Otoritas Gereja kenyataannya tidak dan tidak mampu menuntun orang kepada ajaran sesat. St. Robertus Bellarminus membuat poin yang sama yang dibuat oleh Paus Selestinus, tentang bagaimana orang-orang yang mengkhotbahkan bidah kehilangan yurisdiksi di dalam Bab 10 dari karyanya, Tentang Gereja Militan:

“Nam propterea Coelestinus et Nicolaus locis citatis dicunt, episcopum haereticum, ex quo haereses praedicare coepit, neminem potuisse solvere vel ligare…”

St. Robertus Bellarminus, De Ecclesia Militante, Bab 10: “Itulah sebabnya [Paus] Selestinus dan [Paus] Nikolas, di dalam teks-teks yang dikutip, berkata bahwa seorang uskup yang sesat, sejak waktu ia mulai mengkhotbahkan bidah, tidak mampu melepaskan atau mengikat seorang pun ….”

Perhatikan: sejak waktu ia mulai mengkhotbahkan bidah …

 Faktor kuncinya adalah apa yang dikhotbahkan oleh orang itu, dan bukan bilamana orang itu telah menerima deklarasi. Terdapat pula beberapa teks dari St. Robertus Bellarminus tentang para bidah yang disalahpahami dan disalahgunakan oleh para tradisionalis palsu. Kami mungkin akan membantah kesalahan itu di dalam suatu video yang lain. Tetapi, perkataan dari St. Robertus Bellarminus di sini, dan yang terpenting, dari Paus St. Selestinus, tidak perlu dijelaskan lebih lanjut.

Prinsip ini – bahwa orang-orang yang mengkhotbahkan bidah secara terang-terangan tidak dapat memiliki yurisdiksi – tentunya berlaku kepada Anti-Paus Fransiskus dan para Anti-Paus Vatikan II lainnya. Anti-Paus Fransiskus mengkhotbahkan bidah secara terang-terangan dengan berkata bahwa adalah suatu dosa untuk mengonversikan orang-orang kepada agama Katolik:

[Fransiskus:] Tidaklah licit untuk meyakinkan mereka akan imanmu. Proselitisme adalah bisa yang terkuat melawan jalan ekumenis … Apakah anda perlu meyakinkan orang lain untuk menjadi Katolik? Tidak, tidak, tidak! … Terdapat suatu dosa yang amat berat terhadap ekumenisme: proselitisme. Kita tidak pernah boleh memproselitisasikan para Ortodoks!

… bahwa Martin Luther tidak membuat kesalahan dalam hal justifikasi:

[Fransiskus:] Saya percaya bahwa intensi-intensi dari Martin Luther tidaklah keliru … Dan di masa kini, orang-orang Lutheran dan Katolik, dan semua orang Protestan, setuju dalam hal doktrin justifikasi: tentang poin yang satu ini, yang sedemikian pentingnya, ia [Martin Luther] tidak membuat kesalahan.

… bahwa terdapat “martir-martir” Muslim, Protestan, dan “Ortodoks” Timur, bahwa orang-orang Protestan dan skismatis berada di dalam Gereja Kristus:

[Fransiskus]: “ … atas dasar pembaptisan kita, kita semua membentuk Tubuh Kristus yang esa. Para anggotanya yang berbeda-beda, kenyataannya, membentuk satu tubuh.”

… bahwa orang-orang yang bercerai dan “menikah kembali” boleh menerima Komuni Kudus, bahwa hukuman mati tidak dapat diterima, dengan mempromosikan indiferentisme religius, dan lain sebagainya.

Kami dapat menyebutkan ajaran-ajaran sesatnya yang lain. Kenyataan itu sendiri bahwa Fransiskus mengkhotbahkan bidah-bidah tersebut dan suatu injil yang sesat membuktikan bahwa ia tidak dapat memegang yurisdiksi atas Gereja. Itulah ajaran dari Gereja Katolik. Prinsip yang sama berlaku secara umum kepada para “uskup” pemurtad di bawah Fransiskus dan para Anti-Paus Vatikan II yang lain.

Nah, walaupun poin-poin ini begitu kuat, beberapa orang akan tetap menolak dengan berargumentasi bahwa, beberapa waktu setelah Nestorius mulai mengkhotbahkan bidah, St. Sirilus dari Aleksandria menanti keputusan dari Paus St. Selestinus sebelum ia secara resmi mengumumkan perpecahan persekutuan dengan Nestorius. Tetapi tindakan St. Sirilus itu sama sekali tidak menentang poin-poin yang sedang kami bahas. Terdapat suatu perbedaan antara: a) prosedur-prosedur hukum gerejawi yang menjatuhkan pinalti dan efek dari hukum kanonik kepada seseorang dan/atau secara fisik/administratif memberhentikan seseorang dari jabatan, gelar serta aksesorinya; dan b) prinsip hukum ilahi yang bekerja secara otomatis untuk mendepak seseorang keluar dari Tubuh Kristus dan menghilangkan kepemilikan yurisdiksi – bahkan jika orang-orang yang seharusnya memberlakukan pinalti /prosedur hukum gerejawi gagal untuk melakukannya.

Jika ada seorang Paus Katolik, seperti Paus St. Selestinus, adalah suatu tindakan yang pantas dan bijak bagi Uskup Aleksandria untuk membiarkan atasannya, yakni Paus Selestinus, untuk memimpin dalam proses gerejawi untuk menindaki sesama uskup seperti Nestorius. Dan jelas adanya bahwa seorang Katolik yang sejati seperti Paus Selestinus akan melakukannya.

Tetapi, seandainya Paus Selestinus tidak pernah bertindak, atau dalam kasus yang lebih buruk, memutuskan untuk bergabung dengan sang bidah Nestorius, hal itu tidak berarti bahwa hukum ilahi yang mendepak Nestorius tidak beroperasi, atau bahwa St. Sirilus lalu tidak akan telah bertindak untuk melaksanakan hukum gerejawi. Santo Sirilus hanya bertindak secara pantas dan dengan rendah hati dengan membiarkan Paus Selestinus memimpin dalam perkara tentang bagaimana Nestorius harus ditindaki menurut hukum gerejawi.

Tetapi hukum ilahi tetap berlaku dalam kasus apa pun, yang memampukan (dan sewaktu menjadi cukup jelas adanya), mewajibkan para umat beriman untuk menolak sang bidah itu.

Dan Paus Selestinus sendiri memberikan kepada kita benak Gereja dalam perkara ini sewaktu ia mengajarkan bahwa Nestorius kehilangan otoritas sebelum prosedur-prosedur gerejawi dilaksanakan terhadap dirinya. Adalah suatu fakta pula, yang bahkan diakui oleh para anti-sedevakantis, bahwa berbagai orang Katolik pada waktu itu menolak Nestorius dan memandangnya sebagai berada di luar Gereja – serta tidak memiliki otoritas – sejak waktu ia mulai mengkhotbahkan bidah.

Beberapa orang juga berkata, Konsili Efesus berkata bahwa konsili itulah yang memakzulkan Nestorius, seperti yang diakui bahkan oleh St. Bellarminus.

Hal itu memang benar adanya, tetapi, kita harus mengerti bahwa kata-kata memakzulkan dan pemakzulan dapat, di dalam berbagai konteks, sederhananya merujuk kepada diberhentikannya seseorang secara fisik dari jabatannya dan dari segala aksesorinya. Proses pemakzulan gerejawi itu dapat dan harus dilaksanakan terhadap seseorang yang telah kehilangan kuasa spiritual yang menyertai jabatannya atas dasar hukum ilahi karena orang itu mengkhotbahkan bidah.

Kembali lagi, Paus Selestinus mengajarkan bahwa Nestorius kehilangan yurisdiksinya sewaktu ia mulai mengkhotbahkan bidah-bidahnya, tetapi Paus Selestinus tetap memerintahkan agar suatu proses dilaksanakan terhadap Nestorius untuk memberhentikannya sepenuhnya (yakni, memakzulkannya) dari segala hal yang berkenaan dengan jabatannya. Maka, tergantung konteksnya, kata pemakzulan dapat mengacu kepada diberhentikannya seseorang secara fisik dari jabatannya – atau hilangnya kuasa spiritual secara otomatis.

NOTORIUS - DELIK BIDAH

Sebagai kesimpulan, marilah mempertimbangkan beberapa fakta lainnya yang membantah suatu kesalahan umum yang dimiliki orang-orang tentang para bidah. Beberapa tradisionalis palsu mengklaim bahwa seseorang yang berkata bahwa dirinya seorang Katolik, dan yang belum secara kanonik diperingatkan atau dinyatakan sebagai seorang bidah, tidak mungkin adalah seorang bidah, terutama seorang bidah notorius (bidah terang-terangan). Pandangan semacam itu tidak benar.

Buku yang berjudul The Delict of Heresy [Delik Bidah] oleh Romo Eric Mackenzie, Doktor Hukum Kanonik, diterbitkan oleh Catholic University of America dan dianugerahi sebuah imprimatur pada tahun 1932. Di dalam buku ini, sang penulis menunjukkan bahwa seseorang bukan hanya dapat menjadi seorang bidah sebelum diperingatkan secara kanonik atau divonis secara resmi, tetapi orang semacam itu dapat menjadi seorang bidah notorius sebelum mendapatkan peringatan secara kanonik atau vonis secara resmi.

Sayangnya, buku tersebut memang memuat beberapa pandangan modernis yang tercela tentang perkara keselamatan. Itu adalah suatu bukti yang lain bahwa kerusakan yang terjadi dalam hal iman, terutama tentang perkara keselamatan, telah bermula sebelum Vatikan II. Bagaimanapun, penulis buku itu memiliki pengetahuan yang luar biasa tentang hukum kanonik dan delik bidah.

Sang penulis menunjukkan bahwa terdapat suatu perbedaan antara delik sederhana bidah dan suatu bentuk pelanggaran atau delik yang lebih berat. Bentuk delik yang lebih berat ini melibatkan suatu penolakan terhadap peringatan-peringatan kanonik.

Tentang hal kebersalahan atas delik sederhana bidah tanpa suatu peringatan kanonik apa pun, sang penulis berkata:

Romo Eric F. Mackenzie, The Delict Of Heresy [Delik Bidah], Catholic University of America, Imprimatur 1932, hal. 44: “Seorang pelanggar yang bersalah atas delik sederhana bidah (yang oleh karena itu belum melanjutkan [pelanggarannya] dengan mengabaikan secara memberontak peringatan-peringatan dan hukuman-hukuman kanonik, dan belum bergabung ke dalam suatu sekte non-Katolik), memperoleh ekskomunikasi gerejawi di dalam bentuknya yang paling sederhana.”

Kita dapat melihat di sini bahwa tidak seperti pendapat beberapa kaum anti-sedevakantis dan tradisionalis palsu: seseorang dapat bersalah atas delik kanonik bidah dan diekskomunikasikan sebelum seseorang mengabaikan peringatan-peringatan kanonik dan tanpa belum bergabung ke dalam suatu sekte non-Katolik (dalam kata lain, walaupun orang itu mengaku diri sebagai seorang Katolik). Seseorang menjadi bersalah atas delik kanonik bidah jika orang itu bersikeras menyangkal atau meragukan suatu dogma.

Sekarang, kami akan menunjukkan bahwa penulis yang sama juga mengakui bahwa sang bidah sederhana, walaupun Gereja belum membuat sebuah deklarasi tentang orang itu, dan walaupun ia belum bergabung ke dalam sebuah sekte non-Katolik (yakni, walaupun orang itu masih mengaku diri sebagai seorang Katolik), orang semacam itu mungkin adalah seorang bidah notorius (yang notorius secara defacto).

Kami meminjam dan mengadaptasikan istilah notorius dari bahasa Inggris. Istilah ini adalah kata sifat, yang berarti bahwa suatu hal terkenal akibat keburukannya. Notorius secara defacto berbeda dari notorius secara dejure.

Notorius secara dejure adalah keadaan di mana suatu vonis telah dijatuhkan oleh seorang hakim kanonik atau sang pelanggar telah mengaku di dalam pengadilan. Dalam kata lain, istilah ini mengacu kepada suatu deklarasi dan proses kanonik.

Sebaliknya, Notorius secara defacto, tidak memerlukan suatu deklarasi atau proses kanonik. Keadaan ini tidak memerlukan sang pelanggar untuk bergabung ke dalam suatu sekte non-Katolik. Notorius secara defacto adalah suatu keadaan di mana tindak pelanggarannya diketahui secara publik dan sifat keberdosaan dan imputabilitasnya juga diketahui secara publik.

Kami akan memberikan suatu contoh. Mari mengandaikan di kalangan umat Katolik, beredar kabar bahwa seorang imam menyatakan hal yang bidah tentang Allah Tritunggal. Tetapi, tidak diketahui apakah sang imam hanya keliru dalam perkara itu ataukah ia dengan sengaja menentang ajaran Katolik tentang perkara tersebut. Dan, mari mengandaikan bahwa kesalahan imam itu adalah tentang suatu poin yang lebih rumit, dan bukan suatu poin yang mendasar tentang Allah Tritunggal.

Dalam kasus ini, walaupun pelanggaran imam itu diketahui secara publik, pelanggarannya itu belum tentu secara pasti bersifat notorius secara defacto, karena walaupun a) pelanggarannya diketahui oleh orang banyak, namun b) sifat keberdosaan atau imputabilitasnya tidak diketahui secara publik.

Berikut suatu kutipan dari Komentar Praktis tentang Kitab Hukum Kanonik (1943) sehubungan dengan keadaan notorius secara defacto:

Woywood dan Smith, A Practical Commentary On the Code of Canon Law [Komentar Praktis atas Kitab Hukum Kanonik], Imprimatur 1957, hal. 448: “ … suatu pelanggaran bersifat notorius oleh karena notorietas fakta, jika pelanggaran itu diketahui secara publik dan dilakukan dalam keadaan-keadaan yang sedemikian rupa sehingga tidak dapat disembunyikan oleh dalih apa pun, ataupun dibenarkan oleh suatu alasan pun yang diakui oleh hukum (yakni, fakta dari pelanggaran itu serta imputabilitasnya atau pertanggungjawaban kriminalnya harus diketahui secara publik ….”

Sekarang, mari mempertimbangkan Fransiskus. Fransiskus adalah seorang bidah notorius (yang notorius secara defacto) karena a) Pernyataan-pernyataannya yang sesat diketahui oleh jutaan orang dan, b) kenyataan bahwa ia secara sengaja menentang dogma Katolik adalah suatu hal yang diketahui secara publik.

Jutaan orang tahu bahwa Fransiskus mengatakan banyak hal yang menentang dogma Katolik tentang keselamatan, Gereja, pernikahan, evangelisasi, dan lain sebagainya. Sifat keberdosaan dari pelanggaran-pelanggarannya serta imputabilitas yang terlibat di dalamnya juga diketahui secara publik.

Ribuan orang di dunia mencela Fransiskus karena ia berbuat dosa dengan menentang dogma-dogma Kristiani. Kenyataannya, Fransiskus telah membuktikan imputabilitas dari dirinya sendiri, serta sifat keberdosaan dari tindakan-tindakannya, dengan mengakui bahwa ajarannya mungkin adalah bidah (dan oleh karena itu bahwa ia tidak peduli).

Fransiskus, Salam untuk “Acara Kesatuan Kristiani AS” [suatu perkumpulan ekumenis bidah di Phoenix, Arizona,] Radio Vatikan, 23 Mei 2015:

Dan muncul di dalam benak saya keinginan untuk mengatakan suatu hal yang mungkin bodoh atau mungkin suatu bidah, saya tidak tahu.”

Bahasa Spanyol: “Y me viene a la mente decir algo que puede ser una insensatez, o quizás una herejía, no sé.”  link

Sewaktu ia mengakui bahwa ia mungkin mengajarkan bidah, dan oleh karena itu bahwa ia tidak peduli, ia membuktikan kebersalahan atau imputabilitasnya secara publik. Imputabilitasnya juga dibuktikan oleh banyak hal yang lain.

Jadi, Fransiskus adalah seorang bidah notorius, yang notorius secara defacto. Hal ini sama sekali tidak diragukan. Seorang bidah notorius tidak dapat memegang jabatan di dalam Gereja.

Harus dicatat pula bahwa seseorang dapat mewujudkan bidahnya melalui perbuatan, pengabaian, maupun pernyataan. Tindakan-tindakan Fransiskus, di samping pernyataan-pernyataannya, membuktikan bahwa ia seorang bidah notorius.

Romo Eric F. Mackenzie, The Delict of Heresy [Delik Bidah], Catholic University of America, Imprimatur 1932, hal. 35: “Kata-kata adalah sarana komunikasi yang biasa, walaupun bukan satu-satunya sarana komunikasi. Pikiran dapat diwujudkan secara penuh dalam tanda-tanda, tindakan-tindakan atau pengabaian-pengabaian [omisi-omisi] … Maka dari itu, delik bidah akan memiliki banyak bentuk … Perbuatan [komisi] itu sendiri dari suatu tindakan pun yang menandakan bidah, contohnya, pernyataan tentang suatu doktrin yang menentang atau berkontradiksi terhadap suatu dogma yang telah diwahyukan atau didefinisikan, memberikan dasar-dasar yang cukup untuk praduga yuridis atas kebejatan bidah.”

Berikut adalah suatu kutipan lain dari Romo Mackenzie di mana ia mengakui, bahwa seorang bidah sederhana (yang sudah dijelaskannya lebih awal sebagai orang yang belum dijatuhi vonis, belum diperingatkan secara kanonik, dan belum tentu telah bergabung ke dalam suatu sekte non-Katolik) mungkin adalah bidah notorius secara defacto.

Romo Eric F. Mackenzie, The Delict of Heresy [Delik Bidah], Catholic University of America, Imprimatur 1932, hal. 45: “Semua orang bidah yang telah divonis bersifat notorius setidaknya dengan notorietas dejure. Beberapa orang bidah sederhana dan beberapa bidah yang bergabung ke dalam suatu sekte non-Katolik mungkin bersifat notorius secara defacto, tetapi orang-orang lainnya, yang kemungkinan merepresentasikan kasus biasa, hanya akan merupakan pelanggar-pelanggar secara tersembunyi.”

Jadi, seseorang dapat menjadi bidah notorius tanpa peringatan kanonik, tanpa deklarasi, dan walaupun orang itu mengaku diri Katolik. Fransiskus adalah seorang bidah notorius. Termasuk golongan bidah notorius adalah para “uskupnya” yang mengikuti Vatikan II serta para Anti-Paus pemurtad lainnya dari Sekte Vatikan II, yang adalah Kontra-Gereja akhir zaman yang telah dinubuatkan.

Mackenzie juga mengakui bahwa seseorang dapat menjadi notorius secara defacto tanpa suatu proses yudisial dalam teks ini yang membahas suatu kanon tertentu:

Romo Eric F. Mackenzie, The Delict of Heresy [Delik Bidah], Catholic University of America, Imprimatur 1932, hal. 111: “Seandainya delik bidah itu telah menjadi notorius adanya, baik secara defacto maupun melalui proses yudisial, terdapat kesempatan yang lebih kecil untuk memberlakukan kanon ini.”

Jadi, orang-orang dapat menjadi notorius secara defacto tanpa proses yudisial.

Fransiskus – yang terus-menerus mengkhotbahkan injil sesat serta ajaran sesat – adalah seorang bidah notorius dan siapa pun yang memberi tahu anda bahwa Fransiskus bukanlah bidah notorius tidak tahu apa yang ia katakan.

Para bidah notorius, dan orang-orang yang mengkhotbahkan bidah secara notorius tidak dapat memegang jabatan, sebagaimana yang telah kami buktikan dari ajaran Paus St. Selestinus.

Di samping itu, di hadapan fakta-fakta ini, adalah suatu dosa untuk bersikeras menganggap orang-orang tersebut memiliki otoritas di dalam Gereja. Pandangan semacam itu menuntun seseorang kepada berbagai jenis kesimpulan yang salah. Pandangan itu menentang kesatuan Gereja, mengompromikan pengakuan iman yang sejati, serta mendorong orang-orang untuk tunduk kepada serigala yang akan memangsa mereka. Juga posisi Katolik yang sejati pada masa ini adalah bahwa Takhta Santo Petrus kosong. Itulah posisi yang harus diambil oleh umat Katolik. Gereja Katolik masih ada di dalam suatu sisa umat Katolik tradisional yang sejati. Anda sedang mendengarkan seorang anggota dari Gereja Katolik yang sejati pada zaman kita ini. Situasi masa kini di Roma telah dinubuatkan, seperti yang ditunjukkan oleh materi kami.

SHOW MORE