St. Gregorius dari Nazianzus Membantah “Ortodoksi” terkait Kepausan
Juli 9, 2023
SUPPORT
Copy Link
https://endtimes.video/id/st-gregorius-dari-nazianzus-kepausan/
Copy Embed
vatikankatolik.id - Saluran dalam Bahasa Indonesia

Bruder Peter Dimond, OSB

St. Gregorius dari Nazianzus yang juga dikenal sebagai “Sang Teolog” adalah salah satu bapa dan doktor yang agung dari gereja Timur. Ia ini adalah salah seorang bapa Kapadokia; para bapa Kapadokia yang lain adalah St. Basilius dan St. Gregorius dari Nyssa. Kaum “Ortodoks” Timur juga menganggap St. Gregorius dari Nazianzus sebagai seorang santo. Ada suatu teks yang sangat menarik dari St. Gregorius dari Nazianzus, yang semakin memperkuat ajaran Katolik tentang Kepausan. Teks ini berasal dari karyanya yang bernama Carmen de Vita Sua (yang berarti Puisi tentang Kehidupannya Sendiri), dari tahun 382 M. Berikut teks bahasa Yunaninya, yang diambil dari J. P. Migne, Patrologia Greca, Vol. 37:1068, kalau-kalau orang ingin memeriksa teks orisinalnya. Di dalam teks ini St. Gregorius sedang membahas tentang bagaimana Konstantinopel adalah Roma yang baru, karena ibu kota Kekaisaran sudah dipindahkan ke sana. Namun ia lalu berkata bahwa dalam perkara iman, Roma yang lama adalah presiden atas semua.

Berikut sebuah terjemahan bahasa Indonesia dari teks tersebut:

St. Gregorius dari Nazianzus, Carmen De Vita Sua, 382 M, PG 37:1068:
“Alam tidak memberi (kita) dua buah surya, namun Roma yang kembar (telah diberinya kepada kita), mercusuar bagi seluruh dunia, kuasa yang baru dan juga yang lama, yang berbeda satu dari yang lain sedemikian rupa, sehingga yang satu lebih cemerlang dari sang surya, yang lain [lebih cemerlang dari] bintang senja, tetapi dalam kejelitaan, mereka sama-sama sepadan.

Namun adapun iman mereka, yang satu [yaitu Roma yang lama] telah berlayar lurus lebih lama dan masih terus demikian, mengikat bersama-sama segenap [wilayah] Barat  dengan sabdanya yang menyelamatkan, sebagaimana benar adanya bahwa dialah presiden [πρόεδρον] atas semua, yang menakzimkan keharmonisan ilahi (milik iman) segenap-genapnya.” (J.P. Migne, Patrologia Graeca, 37:1068)

Teks ini sangat penting. St. Gregorius mengajarkan bahwa dalam perkara iman, Takhta Roma merupakan presiden atas semua. Perkataannya itu jelas mendukung keutamaan yurisdiksi Kepausan atas semua orang yang berada dalam Gereja, sebab Roma dahulu dikenal sebagai Takhta milik St. Petrus dan para penerusnya, yaitu para Paus. St. Gregorius menggunakan kata dalam bahasa Yunani προεδρον (proedron) untuk menggambarkan otoritas Roma atas semua.

  • προεδρον (proedron) adalah bentuk akusatif dari kata benda πρόεδρος (proedros) yang berarti presiden
  • πρόεδρος (proedros) merupakan kata kerabat dari προεδρία, proedria yang berarti kepresidenan, suatu istilah yang juga telah digunakan untuk jabatan para Paus. Makna harfiah dari kata πρόεδρος (proedros) adalah “orang yang duduk di tempat pertama”.

Maka sewaktu St. Gregorius berkata bahwa Roma adalah presiden atas semua dalam hal iman, apakah ia hanya semata-mata berkata tentang suatu keutamaan kehormatan, yang tidak mencakup keutamaan otoritas? Tentunya tidak. Pernyataan semacam itu tidak masuk akal. Yang sedang dibahas St. Gregorius adalah otoritas atau kepresidenan Roma atas semua uskup dan gereja lainnya.

Kenyataannya, di dalam Gereja perdana, para uskup tidak hanya disebut sebagai ἐπίσκοποι (episkopoi) namun juga terkadang dijuluki πρόεδροι (proedroi), yang berarti para presiden, bentuk jamak dari kata πρόεδρος (proedros).

Memang benar, pada Konsili di Trullo di abad ke-7, suatu konsili yang dikutip oleh banyak dari kalangan “Ortodoks” Timur – kata-kata πρόεδρον (proedron) dan προεδρία (proedria) secara khusus digunakan untuk menggambarkan otoritas dan kuasa seorang uskup dalam daerah kekuasaannya.

Dan Gereja perdana juga mengakui sebagai fakta bahwa seorang uskup, sebagai πρόεδρος (proedros) atau presiden dari kongregasinya, memiliki yurisdiksi dalam wilayahnya. Termasuk dalam yurisdiksi itu adalah kuasa untuk menyetujui, memerintah, memimpin, menghukum, dll.

Maka ketika St. Gregorius berbicara tentang Roma dan Konstantinopel sehubungan dengan iman, dan ia menggunakan kata πρόεδρον (proedron) untuk menyatakan bahwa Roma merupakan presiden atas semua, ia sedang mengajarkan bahwa Takhta Roma memiliki otoritas atas semua uskup lainnya dan dengan demikian atas seluruh Gereja. Dan sama seperti seorang uskup, sebagai πρόεδρος (proedros) atas diosesnya punya kuasa yurisdiksi termasuk otoritas untuk membuat dekret, menghukum, memerintah dll., Roma sebagai πρόεδρος (proedros) atas semua memiliki kuasa itu atas Gereja universal.

Namun orang yang tidak ingin kebenaran – yang tidak ingin menerima apa yang diinstitusikan Kristus dalam diri St. Petrus – akan mencoba mencari-cari segala macam alasan. Patut dicatat pula bahwa banyak dari kaum “Ortodoks” Timur modern berpendapat bahwa para uskup mereka, meskipun dalam daerah kekuasaan mereka sendiri, tidak lebih tinggi daripada umat mereka dan bahwa mereka tidak memiliki kuasa yang terpisah dari para umat. Posisi itu absurd dan semakin menyingkap kesesatan eklesiologi “Ortodoks” Timur. Posisi itu menyangkal realitas hierarki dalam Gereja dan jelas menentang ajaran dari milenium pertama, namun itu adalah pokok permasalahan yang lain.

Di samping itu, St. Gregorius berkata bahwa Roma “mengikat bersama-sama segenap [wilayah] Barat”. Pernyataannya ini mungkin suatu rujukan bagaimana berbagai macam bidah pada waktu itu sedang menyebabkan kerusakan yang lebih besar kepada wilayah Timur Kekaisaran daripada wilayah baratnya. Dalam perkataannya ini ia menggunakan kata δέουσα (deousa), sebuah partisip masa kini dari kata kerja δέω (deo). Nah, kata kerja δέω itu adalah kata kerja yang sama, yang digunakan dalam Matius 16:19 untuk menggambarkan otoritas St. Petrus untuk mengikat. Maka ada suatu hubungan antara bagaimana St. Gregorius menggambarkan otoritas Roma untuk mengikat dan bagaimana Alkitab menggambarkan otoritas St. Petrus untuk mengikat, dan dalam kalimat yang sama di mana St. Gregorius merujuk kepada otoritas Roma untuk mengikat, ia menghubungkannya dengan Roma sebagai presiden atas semua – suatu petunjuk yang jelas bahwa Roma mempunyai keutamaan universal dalam perkara yurisdiksi, termasuk kuasa untuk mengikat.

Dan juga, di dalam suatu karyanya yang lain, St. Gregorius dari Nazianzus mengkhususkan St. Petrus Rasul sebagai “batu karang yang tak terpecahkan, yang kepadanya Kunci telah dijatahkan” (πετρης άρραγέος γενέτης κλήιδα λαχόντος).

St. Gregorius dari Nazianzus, Carminum, Liber I, Patrologia Greca 37:559
“Seandainya ada seorang Paulus yang lain, (ia tidak tahu) apabila ia akan membuahkan seorang putra pembunuh Kristus, seorang Hanas atau seorang Kayafas yang fasik, atau seorang Yudas yang lain. Tidak pun seorang pria yang telah mendatangkan kejahatan, seperti Yudas, (tahu) apabila ia akan disebut sebagai bapa dari seorang Paulus yang saleh atau bahwasanya dari seorang Petrus, batu karang yang tak terpecahkan, yang kepadanya Kunci telah dijatahkan.” (J.P. Migne, Patrologia Graeca, 37:559)

Patut dicatat pula bahwa St. Gregorius dari Nazianzus adalah uskup Konstantinopel dan ia untuk semasa memimpin pada Konsili Konstantinopel I, di tahun 381. Jadi, Bapa Gereja Timur ini yang memimpin pada Konsili Konstantinopel I mewariskan kepada kita suatu dukungan yang jelas untuk ajaran Katolik tentang keutamaan yurisdiksi Kepausan. Sebabnya adalah Tuhan kita Yesus Kristus mendirikan Kepausan di atas St. Petrus, dan jabatan yang telah Ia tetapkan dalam diri Santo Petrus sudah dikenal di sepanjang segala abad, persis seperti yang diajarkan Konsili Vatikan I. Untuk menjadi orang Kristen sejati dan memperoleh keselamatan, orang perlu menjadi Katolik tradisional.

SHOW MORE