Seperti yang orang ketahui, Benediktus XVI, yang juga dikenal sebagai Joseph Ratzinger, telah meninggal dunia di bulan Desember 2022.
Banyak waktu telah kami sempatkan untuk mendokumentasikan kebenaran tentang dirinya di dalam materi kami, berdasarkan riset atas 30 bukunya, semua pidatonya, dll. Kami punya begitu banyak artikel, video, dokumen, dll. tentang dirinya.
Banyak orang di zaman penipuan ini tampaknya tidak menyadari suatu kenyataan tentang Benediktus XVI, karena mereka tidak menilai hal-hal seturut prinsip-prinsip yang sungguh Kristen/Katolik; kenyataan itu adalah Benediktus XVI adalah seorang bidah notorius; seorang Anti-Paus, dan salah satu orang terjahat di dalam sejarah. Orang-orang yang menolak atau mencibir pernyataan itu pada dasarnya tidak tahu apa yang sedang mereka katakan dan mereka itu buta.
Kami punya sebuah video yang berjudul “Bidah-Bidah Benediktus XVI”. Meskipun video itu diproduksi bertahun-tahun lalu, itu adalah salah satu video yang terpenting yang kami punyai, karena video itu memberi sebuah gambaran besar dari Kemurtadan Vatikan II – yang tercermin dalam banyak aspek dari karya tulis Joseph Ratzinger.
RATZINGER BERKATA BAHWA GEREJA SKISMATIS YUNANI ADALAH SUATU GEREJA YANG SEJATI WALAUPUN TIDAK TUNDUK KEPADA SRI PAUS
“Kardinal” Ratzinger, Principles of Catholic Theology [Prinsip-Prinsip Teologi Katolik] (1982), hal. 259: “BahkanLuther pun mengarahkan perhatiannya kepada Gereja Yunani, yang tetap merupakan suatu gereja sejati tanpa menundukkan diri kepada Sri Paus, dan dia pula, menyimpulkan bahwa apa yang penting bukanlah persekutuan yang konkret dan terstruktur, melainkan komunitas yang ada di belakang persekutuan institusional.”
BENEDIKTUS XVI MENOLAK DOGMA PERLUNYA PEMBAPTISAN BAYI, SEBAGAI PANDANGAN YANG “TAK TERCERAHKAN”
“Kardinal” Joseph Ratzinger, God and the World [Allah dan Dunia], 2000, hal. 401: “Pertanyaan… Tetapi apa yang terjadi ketika seorang manusia mati tanpa dibaptis? Dan apa yang terjadi kepada jutaan anak yang dibunuh dalam rahim ibu mereka? Jawaban: Pertanyaan tentang apakah makna dari perkataan bahwa pembaptisan diperlukan untuk keselamatan telah menjadi pokok perdebatan yang panas pada zaman modern. Konsili Vatikan II berkata tentang perkara ini bahwa manusia yang sedang mencari Allah dan yang secara batiniah berjuang menuju hal yang merupakan bagian dari pembaptisan juga akan menerima keselamatan. Maknanya, mencari Allah sudah melambangkan suatu partisipasi batiniah dalam pembaptisan, dalam Gereja, dalam Kristus. Sejauh itu, pertanyaan terkait perlunya pembaptisan untuk keselamatan kelihatannya sudah terjawab, namun pertanyaan tentang anak-anak yang tidak dapat dibaptis karena mereka telah diaborsi lalu mendorong kita dengan desakan yang sebegitu jauh lebih kuatnya. Zaman-zaman yang terdahulu telah mereka suatu ajaran yang bagi saya agak tak tercerahkan. Mereka berkata bahwa pembaptisan mengaruniakan kita, melalui rahmat pengudusan, kemampuan untuk menatap Allah. Memang benar bahwa bagian yang terutama dari keadaan dosa asal, yang darinya kita dibebaskan oleh pembaptisan, adalah tiadanya rahmat pengudusan. Anak-anak yang mati demikian bahwasanya tidak memiliki dosa pribadi sama sekali, maka mereka tidak dapat dikirim masuk Neraka, namun di sisi lain, mereka tidak memiliki rahmat pengudusan dan dengan demikian [tidak memiliki] kemampuan untuk menatap Allah yang dikaruniakan oleh rahmat ini. Mereka hanya akan menikmati suatu keterberkatan kodrati, di mana mereka akan menjadi berbahagia. Keadaan ini disebut orang sebagai limbo. Di sepanjang abad yang kita lalui, ajaran itu telah secara bertahap tampak bermasalah bagi kita. Ini adalah salah satu cara orang berupaya membenarkan perlunya membaptis bayi-bayi sesegera mungkin, namun solusinya sendiri patut dipertanyakan. Akhirnya, Sri Paus membuat suatu perubahan yang menentukan dalam surat ensiklik Evangelium Vitae, satu perubahan yang sudah diantisipasi oleh Katekismus Gereja Katolik, ketika beliau mengungkapkan harapan yang sederhana bahwa Allah cukup kuasa untuk menarik datang kepada diri-Nya sendiri semua orang yang dahulu tidak mampu menerima sakramen itu.”
Waktu anda tak akan terbuang sia-sia dengan menonton video ini. Kami juga punya artikel-artikel rinci yang membahas berbagai macam buku dan pidatonya, dan yang mengekspos bidah-bidah yang mengejutkan dalam karya tulisnya, termasuk bidah-bidah tentang agama-agama non-Kristiani seperti Yahudi, Islam, dll.; bidah-bidah tentang kaum Protestan, “Ortodoks” Timur; bidah-bidah yang melawan Kitab Suci, sakramen dan lain sebagainya.
Sungguh benar kalau orang berkata bahwa masa karier Benediktus XVI menyerang habis-habisan pada dasarnya segala macam aspek ajaran Katolik, dan ia bahkan merambah aspek-aspek tertentu yang tidak dijamah Fransiskus. Benediktus XVI adalah seorang modernis dan pelaku ekumenisme sesat dari ubun-ubun sampai ujung kaki.
Seperti yang dibahas dalam materi kami, Kitab Suci menubuatkan seluruh kemurtadan pasca-Vatikan II yang berlangsung di Roma ini, dan yang dipimpin oleh para Anti-Paus Vatikan II yang bidah. Gereja Katolik masih ada, namun Sekte Vatikan II bukanlah Gereja Katolik, melainkan Kontra-Gereja akhir zaman yaitu Pelacur Babel.
Benediktus XVI adalah salah seorang bidah yang paling signifikan dari seluruh Kontra-Gereja Vatikan II. Di dalam video ini saya tidak akan mengulangi bukti yang begitu banyak, yang melawan Anti-Paus Benediktus XVI; saya hanya akan membahas beberapa hal saja, semua hal ini didokumentasikan dalam materi kami. Kami juga punya selebaran tentang bidah-bidahnya.
Ia mengajarkan berulang kali bahwa membaca Kitab Suci dengan cara baca orang Yahudi, cara baca yang menganggap Yesus bukan Mesias dan Putra Allah, adalah cara baca yang valid.
BENEDIKTUS XVI BERKATA BAHWA KITAB SUCI TERBUKA KEPADA AGAMA YAHUDI (PENOLAKAN TERHADAP KRISTUS) DAN JUGA KEKRISTENAN (PENERIMAAN TERHADAP KRISTUS); KEDUANYA JUGA MEMILIKI MISI
“Kardinal” Joseph Ratzinger, Milestones [Batu Peringatan], hal. 53-54: “Saya telah semakin menyadari dengan amat jelas bahwa agama Yahudi (yang dalam makna sempit bermula dengan akhir pembentukan kanon, yakni, pada abad pertama setelah Kristus)dan iman Kristiani yang digambarkan di dalam Perjanjian Baru adalah dua cara untuk mengapropriasi Kitab Suci Israel, kedua cara yang, pada akhirnya, ditentukan oleh posisi yang diambil seseorang terkait sosok Yesus dari Nazaret. Kitab Suci yang pada hari ini kita sebut sebagai Perjanjian Lama pada hakikatnya sendiri terbuka kepada kedua cara pandang itu. Secara garis besar, hanya setelah Perang Dunia Kedualah kita mulai memahami bahwa penafsiran Yahudi pula, pada masa ‘setelah Kristus’, tentunya memiliki misi teologis yang tersendiri.”
Ia mengajarkan bahwa orang Yahudi yang berkata “Tidak”, kepada Yesus tidak terkecuali dari keselamatan.
BENEDIKTUS XVI KEMBALI BERKATA BAHWA ORANG YAHUDI TIDAK TERKECUALI DARI KESELAMATAN
“Kardinal” Joseph Ratzinger, God and the World [Allah dan Dunia], 2000, hal. 150-151: “Inilah salah satu paradoks lain yang dihadapkan bagi kita oleh Perjanjian Baru. Di satu sisi, kata Tidak yang mereka [orang Yahudi] tujukan kepada Kristus menyebabkan bangsa Israel berkonflik dengan perbuatan-perbuatan Allah yang selanjutnya, namun pada saat itu juga, kita tahu bahwa mereka punya jaminan kesetiaan Allah. Mereka tidak terkecuali dari keselamatan, tetapi mereka memberi suatu pelayanan khusus, dan karena itu mereka dilimpahi kesabaran Allah, yang juga menjadi andalan kita.”
Ia mengajarkan bahwa Gereja tidak boleh menyibukkan dirinya sendiri untuk mengonversikan orang Yahudi, dan ia menunjuk Walter Kasper untuk menyampaikan pesannya yang bidah itu. Itu adalah perbuatan Antikristus.
Pada tahun 2018, Benediktus XVI secara tegas menolak pernyataan bahwa ia mendukung misi untuk mengonversikan orang Yahudi, yang disebutnya sebagai omong kosong yang ganjil. Ia mengajarkan bahwa Perjanjian Lama valid, bahwa bangsa Yahudi adalah bangsa milik perjanjian Allah. Ia beribadat bersama mereka dan lain sebagainya. Semuanya itu merupakan perbuatan bidah manifes.
Para “Uskup” Amerika Serikat, yang mengikuti kepemimpinan para Anti-Paus mengeluarkan sebuah pernyataan yang menolak perlunya para Yahudi untuk berkonversi. Para Anti-Paus Vatikan II juga telah mendukung pernyataan-pernyataan dari para pemimpin agama Yahudi, seperti Rabi David Rosen, dan Alan Solow, yang keduanya menyambut Benediktus XVI. Mereka menyatakan, berdasarkan Nostra Aetate, bahwa Gereja Katolik tidak lagi berkehendak untuk mengonversikan orang-orang Yahudi dan bahwa perjanjian Yahudi dengan Allah itu abadi.
Pada tanggal 30 Oktober 2008, Rabbi David Rosen dari Komite Yahudi Internasional menyambut Benediktus XVI. Ia mengutip Nostra Aetate dan ia berterima kasih kepada Benediktus XVI atas jaminan-jaminan, melalui “Kardinal” Kasper, bahwa Gereja tidak lagi mencoba untuk mengonversikan orang-orang Yahudi. Pernyataan Rosen kepada Benediktus XVI diterbitkan di dalam surat kabar Vatikan.
Pada tanggal 12 Februari 2009, Alan Solow Presiden dari Conference of Major American Jewish Organizations atau Konferensi Organisasi-Organisasi Besar Yahudi Amerika, menyatakan secara langsung kepada Benediktus XVI. : “…seperti yang ditegaskan di dalam Nostra Aetate – perjanjian antara Allah dan orang-orang Yahudi itu abadi.” Benediktus XVI lalu berterima kasih kepadanya atas komentar-komentarnya yang diterbitkan di dalam surat kabar Vatikan.
Untuk mengimplementasikan ajaran baru Vatikan II, Yohanes Paulus II dan Benediktus XVI juga menunjuk “Kardinal” Walter Kasper sebagai kepala dari Komisi bagi Hubungan Keagamaan dengan Komunitas Yahudi. Kasper secara terang-terangan mengajarkan bahwa orang-orang Yahudi diselamatkan tanpa iman di dalam Kristus dan bahwa deklarasi Nostra Aetate dari Vatikan II meninggalkan ajaran Katolik tradisional bahwa Perjanjian Baru menggantikan Perjanjian Lama.
Berikut suatu bidah lain yang menarik dari Benediktus XVI dalam perkara ini. Anda kemungkinan belum pernah melihat bidah ini diekspos di tempat lain.
Pada pertemuan dengan orang-orang Yahudi di tanggal 12 Sep. 2008, Benediktus XVI kembali mengajarkan bahwa orang-orang Yahudi adalah bangsa milik perjanjian Allah (ajaran semacam itu adalah bidah). Dan ia berkata:
Benediktus XVI, Sambutan pada pertemuan di Prancis dengan para perwakilan Komunitas Yahudi, 12 September 2008: “Sungguh berbahagia adanya, bahwa pertemuan kita berlangsung menjelang perayaan Sabat mingguan, hari yang sejak zaman terdahulu, sedemikian pentingnya dalam kehidupan beragama dan berbudaya bangsa Israel. Semua orang Yahudi saleh menguduskan Sabat dengan membaca Kitab Suci dan dengan mendaraskan Mazmur … Tidakkah Talmud Yoma (85b) menyatakan: ‘Sabat diserahkan kepada kalian, tetapi kalian menyerahkan diri untuk Sabat?’ ….”
Itu adalah bidah manifes. Kalau anda telah membaca Konsili Florence, anda tahu bahwa ada suatu definisi dogmatis yang mengajarkan bahwa sejak pemakluman Injil, orang-orang tidak dapat menaati Sabat Yahudi tanpa melakukan dosa berat dan kehilangan keselamatan, jika mereka tidak berpaling dari kesalahan-kesalahan itu.
Paus Eugenius IV, Konsili Florence, “Cantate Domino”, 1441: “Ia [Gereja Roma yang Kudus] dengan teguh percaya … bahwa ketentuan-ketentuan hukum dari Perjanjian Lama, atau dari hukum Musa, yang … [merupakan] perayaan-perayaan, ritus-ritus kudus, kurban-kurban, dan sakramen-sakramen … setelah kedatangan Tuhan kita Yesus Kristus yang telah ditandakan oleh hal-hal tersebut, telah berakhir dan sakramen-sakramen dari Perjanjian Baru bermula; dan barang siapa, bahkan setelah Sengsara Kristus, menaruh harapan di dalam ketentuan-ketentuan hukum tersebut dan berpatuh kepada hal-hal tersebut sebagai sesuatu yang diperlukan untuk keselamatan, seolah-olah iman di dalam Kristus tidak dapat menyelamatkan tanpa hal-hal tersebut, berdosa berat … Oleh karena itu, ia [Gereja] mencela sebagai orang-orang yang terasing dari iman akan Kristus, semua orang yang, sejak dari masa itu menaati penyunatan, Sabat, dan segala kewajiban dari hukum tersebut, dan menyatakan bahwa mereka tidak dapat mengambil bagian di dalam keselamatan kekal, kecuali jika pada suatu hari, mereka berpaling dari kesalahan-kesalahan tersebut.”
Benediktus XVI justru mengajarkan hal yang sama sekali berkebalikan. Ia mengajarkan, bahwa orang Yahudi terlibat dalam praktik yang menguduskan dengan menaati Sabat Yahudi. Ia seorang bidah manifes.
Benediktus XVI menyangkal Kepausan. Sebagai contoh, di dalam bukunya yang berjudul “Principles of Catholic Theology”, yang dibahas oleh situs kami dalam sebuah artikel lengkap yang memuat bidah-bidah dan kesalahan-kesalahan yang luar biasa dari buku itu, Benediktus XVI menjabarkan secara rinci apa saja ragam kemungkinan ekumenisme. Ia membahas posisi bahwa kaum Protestan dan “Ortodoks” Timur perlu menerima Konsili Vatikan I dan berkonversi. Pandangan itu ditolaknya secara eksplisit.
“Kardinal” Ratzinger, Principles of Catholic Theology [Prinsip-Prinsip Teologi Katolik] (Ignatius Press, San Francisco, 1982), hal. 197-198: “Dengan latar belakang ini, kita sekarang dapat mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan yang terbuka bagi ekumenisme Kristiani. Pertama-tama kita melihat tuntutan-tuntutan maksimum yang sudah pasti akan menggagalkan upaya untuk mencapai kesatuan. Dari pihak Barat, tuntutan maksimumnya adalah agar Timur mengakui keutamaan Uskup Roma seturut cakupan penuh dari definisi tahun 1870, dan dengan demikian, tunduk secara praktik, kepada suatu keutamaan sebagaimana yang telah diterima oleh Gereja-Gereja Uniat. Dari pihak Timur, tuntutan maksimumnya adalah agar Barat menyatakan doktrin tahun 1870 tentang Keutamaan sebagai suatu kesalahan dan dengan demikian tunduk, secara praktik, kepada suatu keutamaan sebagaimana yang telah diterima dengan penghapusan Filioque dari Syahadat dan termasuk dogma-dogma tentang Maria di abad kesembilan belas dan kedua puluh. Sehubungan dengan Protestantisme, tuntutan maksimum dari Gereja Katolik adalah agar para pelayan gerejawi Protestan dianggap sama sekali tidak valid dan agar orang-orang Protestan berkonversi kepada Katolisisme; di sisi lainnya, tuntutan maksimum dari kaum Protestan adalah agar Gereja Katolik menerima, bersama dengan pengakuan tanpa syarat terhadap semua pelayanan Protestan, konsep pelayanan Protestan dan pemahaman mereka tentang Gereja dan dengan demikian, secara praktik, menolak struktur apostolik dan sakramental Gereja, yang akan berarti secara praktik, berkonversinya orang-orang Katolik kepada Protestantisme dan penerimaan mereka terhadap kemajemukan struktur-struktur komunitas yang berbeda sebagai bentuk historis Gereja. Ketiga tuntutan yang pertama pada hari ini agaknya ditolak secara bulat suara oleh kesadaran Kristiani, sedangkan tuntutan yang keempat memiliki suatu daya pikat tertentu – seolah-olah menawarkan suatu kepastian tertentu yang membuatnya tampak menjadi solusi yang riil untuk permasalahannya. Hal ini menjadi jauh lebih benar karena tuntutan keempat tersebut juga menawarkan harapan bahwa suatu Parlemen Gereja-Gereja, suatu ‘konsili yang sungguh bersifat ekumenis’, lalu dapat mengharmonisasikan kemajemukan ini dan memajukan suatu kesatuan aksi yang bersifat Kristiani. Kenyataan bahwa solusi ini tidak akan menghasilkan kesatuan yang riil, tetapi bahwa kemustahilannya sendiri akan menjadi satu-satunya dogma yang umum, seharusnya meyakinkan siapa pun yang menyelidiki anjuran ini secara cermat bahwa cara semacam itu tidak akan menghasilkan kesatuan Gereja, melainkan hanya akan menghasilkan penolakan terhadapnya. Maka dari itu, tidak satu pun dari solusi-solusi maksimum tersebut menawarkan harapan yang nyata untuk kesatuan.”
Menurut Benediktus XVI, pandangan bahwa orang Protestan dan “Ortodoks” Timur perlu menerima Vatikan I dan berkonversi bukanlah jalan untuk mencapai kesatuan. Di dalam buku yang sama ini ia menekankan gagasannya yang bidah, dengan menyatakan bahwa pandangan Katolik tentang keutamaan Kepausan tidak dapat dianggap mengikat kepada semua orang. Itu adalah bidah terang-terangan dan penyangkalan terhadap Konsili Vatikan I.
RATZINGER BERKATA BAHWA ORANG-ORANG KATOLIK TIDAK BOLEH BERPEGANG KEPADA VATIKAN I SEBAGAI SATU-SATUNYA “BENTUK” KEUTAMAAN KEPAUSAN YANG MUNGKIN ADA DAN SEBAGAI “BENTUK” YANG DIWAJIBKAN UNTUK SEMUA ORANG
“Kardinal” Ratzinger, Principles of Catholic Theology [Prinsip-Prinsip Teologi Katolik] (1982), hal. 198: “Tentunya, tidak seorang pun yang mengaku diri bersetia kepada teologi Katolik dapat sederhananya menyatakan doktrin Keutamaan sebagai batal dan tidak berlaku, terutama jika ia berusaha untuk memahami penolakan-penolakannya dan menilai dengan pikiran yang terbuka bobot relatif dari apa yang dapat dipastikan dari sudut pandang sejarah. Di sisi lain, mustahil baginya untuk memandang bentuk yang telah diambil oleh keutamaan ini pada abad kesembilan belas dan kedua puluh sebagai satu-satunya bentuk yang mungkin ada, dan karena itu bersifat mengikat kepada semua orang Kristen. Gerak-gerik isyarat Paus Paulus VI yang simbolis, dan terutama, dengan berlutut di hadapan perwakilan dari Patriark Ekumenis [Patriark Athenagoras yang skismatis] adalah suatu upaya untuk mengungkapkan kemustahilan ini secara tepat dan, dengan tanda-tanda semacam itu, ia berupaya untuk memperlihatkan jalan keluar dari kebuntuan sejarah itu.”
Pada Hari Orang Muda Sedunia di tahun 2005, Benediktus XVI juga menolak ekumenisme pemulangan (yang berarti orang-orang non-Katolik perlu pulang ke Gereja Katolik), dan ia membuat banyak pernyataan bidah yang serupa. Ia berulang kali mengajarkan bahwa kaum “Ortodoks” berada di dalam Gereja, dan bahwa para pemimpin mereka adalah “gembala” di dalam Gereja. Semua ajarannya itu adalah bidah dan penyangkalan terhadap Konsili Vatikan I.
Deklarasi Gabungan Benediktus XVI bersama “Paduka Berkat” “Ortodoks” Krisostomus II, 16 Juni 2007: “Kami, Benediktus XVI, Paus dan Uskup Roma, dan Krisostomus II, Uskup Agung Nea Yustiniana dan Seluruh Siprus … kami sebagai Gembala di dalam Gereja menjanjikan doa-doa kami yang penuh semangat bagi para umat beriman kami … dari antara hak-hak manusia yang harus dijaga, kebebasan beragama hendaknya menjadi ihwal yang paling diutamakan. Kegagalan untuk menghormati hak ini tergolong suatu penghinaan yang sangat berat terhadap martabat makhluk manusia, yang diserang dalam-dalam pada jantungnya, tempat kediaman Allah. Maka dari itu, menistai, menghancurkan atau menjarah tempat-tempat ibadah dari agama apa pun merupakan perbuatan yang melawan kemanusiaan serta peradaban bangsa-bangsa.
“Pusaka iman yang kaya dan tradisi negeri-negeri kita yang kukuh seharusnya memacu orang-orang Katolik dan Ortodoks kepada pembaruan semangat dalam mewartakan Injil pada zaman kita, dalam kesetiaan kepada panggilan Kristiani kita dan dalam menanggapi tuntutan-tuntutan dunia kontemporer.” (L’Osservatore Romano, 4 Juli 2007, hal. 6-7. Versi bahasa Inggris)
Benediktus XVI mengajarkan bahwa Protestantisme bahkan bukan suatu bidah.
BENEDIKTUS XVI BERKATA BAHWA PROTESTANTISME BUKANLAH BIDAH
“Kardinal” Joseph Ratzinger, The Meaning of Christian Brotherhood [Makna Persaudaraan Kristiani], hal. 87-88: “Ada kesulitan yang besar dalam cara memberi suatu jawaban. Pada akhirnya, kesulitan itu diakibatkan kenyataan bahwa tidak ada kategori yang layak dalam pemikiran Katolik untuk fenomena Protestantisme di masa kini (orang bisa mengatakan hal yang sama tentang hubungan dengan gereja-gereja Dunia Timur yang terpisah). Jelas adanya bahwa kategori ‘bidah’ yang lama tidak lagi bernilai sama sekali. Bagi Kitab Suci dan Gereja perdana, bidah mencakup gagasan keputusan pribadi melawan kesatuan Gereja, dan ciri khas bidah adalah pertinacia, kebersikerasan orang yang bersikukuh dalam jalan pribadinya sendiri. Namun ini tak dapat dipandang sebagai deskripsi yang layak untuk keadaan rohaniah orang Kristen Protestan. Di sepanjang sejarah yang sekarang sudah berabad-abad usianya, Protestantisme telah membuat suatu kontribusi yang penting bagi realisasi iman Kristiani, memenuhi suatu fungsi positif dalam perkembangan pesan Kristiani dan, terutama, sering kali memunculkan iman yang tulus dan mendalam pada orang Kristen non-Katolik perorangan, yang perpisahannya dari keyakinan Katolik sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan ciri khas pertinacia dari bidah. Kita mungkin di sini bisa membalikkan perkataan St. Agustinus: bahwa skisma yang lama menjadi bidah. Arus waktu sendiri mengubah sifat perpecahan, sehingga perpecahan yang lama adalah sesuatu yang pada hakikatnya berbeda dari yang baru. Sesuatu yang pada suatu kala secara benar dikutuk sebagai bidah tidak dapat di kemudian hari begitu saja menjadi benar, namun dapat secara bertahap mengembangkan kodrat gerejaninya sendiri yang positif, yang dengannya individu dihadirkan sebagai gereja miliknya dan yang di dalamnya ia hidup sebagai umat beriman, dan bukan seorang bidah. Namun demikian, organisasi yang terdiri dari satu kelompok ini pada akhirnya berdampak kepada keseluruhannya. Maka dari itu, kesimpulannya tak terelakkan: Protestantisme pada zaman ini adalah sesuatu yang berbeda dari bidah dalam makna tradisional, suatu fenomena yang kedudukan teologisnya belum ditentukan.”
Ia menyetujui Deklarasi Bersama antara Vatikan dan Lutheran tentang Doktrin Pembenaran, yang secara eksplisit mengajarkan keselamatan hanya karena iman dan bahwa kutukan-kutukan Konsili Trente tidak lagi berlaku kepada bidah-bidah Lutheran.
Benediktus XVI mengajarkan indiferentisme keagamaan.
[Benediktus XVI:] Tempat-tempat ibadat, seperti Mesjid Al-Hussein Bin Talal yang agung ini, yang namanya diambil dari Mendiang Paduka Raja yang terhormat, menjulang bagaikan hamparan intan permata di muka bumi. Dari yang kuno sampai yang modern, yang agung sampai yang sederhana, semuanya itu menunjuk kepada Yang Ilahi ....”
Ia mengadakan pertemuan doa Assisinya sendiri, yang sarat penyembahan berhala. Ia mengajarkan Nestorianisme. Sebagai contoh, ia mengajarkan bahwa sang Sabda berdiam dalam diri Yesus, dan bukan kebenaran bahwa Yesus adalah sang Sabda.
BENEDIKTUS XVI SECARA TERANG-TERANGAN MENGAJARKAN BIDAH NESTORIANISME
Benediktus XVI, Jesus of Nazareth – The Infancy Narratives, 2012, hal. 11: “Manusia Yesus adalah tempat kediaman sang Sabda, Sabda ilahi yang kekal, di dunia ini. ‘Daging’ yang dimiliki Yesus, keberadaan manusiawinya, merupakan ‘kediaman’ atau kemah sang Sabda: tidak salah lagi bahwa ini adalah rujukan kepada kemah suci Israel di padang belantara.”
Benediktus XVI di sini secara jelas mengajarkan bidah teranatema yang diajarkan Nestorius – yang sudah dikutuk pada Konsili Efesus dan pada konsili-konsili berikutnya – bahwa Yesus adalah manusia yang di dalamnya sang Sabda berdiam(dua pribadi), dan bukan kebenaran Katolik bahwa Yesuslah sang Sabdayang menjadi daging. Ini adalah bidah signifikan dari pihak Benediktus XVI; sebab Sabda Allah (Pribadi Kedua dari Allah Tritunggal Mahakudus) tidak berdiam dalam diri Yesus. Sebaliknya, Yesuslah sang Sabda itu ....
Dan bahkan ketika di bawah Anti-Paus Yohanes Paulus II, sewaktu ia masih menjabat sebagai “Kardinal Ratzinger” dan “Prefek Kongregasi bagi Doktrin Iman”, Benediktus XVI adalah salah satu tokoh yang terpenting dalam kemurtadan Vatikan II. Contohnya, ia memegang peran kunci dalam menutup-nutupi kebenaran tentang Fatima.
Benediktus XVI berulang kali menyerang ineransi Kitab Suci dan keakuratan historisnya. Kami mendokumentasikan banyak contohnya. Sebagai contoh, di dalam buku “God and the World”, ia mempertanyakan apabila ada loh-loh batu seperti yang tercatat dalam Kitab Keluaran.
BENEDIKTUS XVI MENYANGSIKAN LOH-LOH BATU DARI KISAH KELUARAN
Keluaran 31:18- “Dan TUHAN memberikan kepada Musa, setelah Ia selesai berbicara dengan dia di gunung Sinai, kedua loh hukum Allah, loh batu, yang ditulisi oleh jari Allah.”
Ulangan 10:1 – “Pada waktu itu berfirmanlah TUHAN kepadaku: Pahatlah dua loh batu yang serupa dengan yang mula-mula, naiklah kepada-Ku ke atas gunung ....”
“Kardinal” Joseph Ratzinger, God and the World [Allah dan Dunia], 2000, hal. 165-166, 168: “Pertanyaan … Apakah hukum-hukum ini benar-benar diserahkan kepada Musa oleh Allah sewaktu Ia tampak di Gunung Sinai? Sebagai loh-loh batu, yang padanya, seperti ceritanya, ‘telah ditulisi jari Allah?’ … sejauh mana Perintah-Perintah ini diduga berasal dari Allah. … [hal. 166] Dia ini [Musa] adalah orang yang telah dijamah oleh Allah, dan atas dasar kontak yang bersahabat ini ia mampu merumuskan kehendak Allah, yang sejauh ini hanya terungkap secara tidak lengkap dalam tradisi-tradisi lainnya, sedemikian rupa sehingga kita benar-benar mendengar sabda Allah. Apakah dahulu benar-benar ada loh-loh batu, itu adalah pertanyaan yang lain … [hal. 168] Sejauh manakah kita harus memahami cerita ini secara harfiah adalah suatu pertanyaan yang lain.”
Itu adalah bidah manifes, karena kebenaran-kebenaran mendasar serta pernyataan-pernyataan Kitab Suci yang diwariskan oleh Gereja sebagai ilham Ilahi, merupakan dogma-dogma Magisterium biasa dan universal.
Di dalam versi bahasa Inggris dari bukunya yang berjudul “Jesus of Nazareth – Holy Week”, Benediktus XVI menyangkal keakuratan historis dari Matius 27:25. Kami punya artikel lengkap yang membahas buku itu saja.
BENEDIKTUS XVI MENGKRITIK INJIL MATIUS DAN MENOLAK KEAKURATAN HISTORISNYA
Ini kemungkinan merupakan salah satu bidah Benediktus XVI yang terburuk sampai saat ini. Bidah ini muncul dalam konteks upayanya yang berulang kali untuk melepaskan orang Yahudi dari segala macam kebersalahan dalam kematian Kristus.
Benediktus XVI, Jesus of Nazareth – Holy Week: From the Entrance into Jerusalem to the Resurrection [Yesus dari Nazaret – Pekan Suci: Dari Saat Masuk Yerusalem sampai Kebangkitan], 2011, hal. 186, versi bahasa Inggris: “Suatu perpanjangan dari okhlos kitab Markus, beserta konsekuensi-konsekuensi yang ditakdirkan, ditemukan dalam kisah Matius (27:25) yang berbicara tentang ‘seluruh rakyat’ dan menganggap mereka sebagai pencetus tuntutan penyaliban Yesus. Matius tentunya di sini tidak sedang menceritakan fakta historis: Bagaimanakah seluruh rakyat bisa hadir pada saat ini untuk berseru dengan riuh menuntut kematian Yesus? Tampak jelas bahwa realitas historisnya digambarkan secara benar dalam kisah Yohanes dan Markus.”
Wah! Benediktus XVI sedang mengomentari perkataan Matius 27:25, “Dan seluruh rakyat itu menjawab: ‘Biarlah darah-Nya ditanggungkan atas kami dan atas anak-anak kami.’” Benediktus XVI tidak hanya mengkritik perkataan Injil Matius, dengan berkata bahwa Injil itu memiliki konsekuensi-konsekuensi yang “ditakdirkan”, namun ia juga secara blak-blakan menyangkal bahwa kisah Matius bersifat akurat secara historis. Ini pada dasarnya adalah penolakan terhadap ineransi Kitab Suci. Pernyataannya ini menyangkal wahyu ilahi dan iman Katolik. Sudah tiba saatnya bagi orang-orang untuk bangun dan memandang orang ini sebagaimana adanya dan seperti ajarannya. Ia menuturkan bidah yang masif ini, pada dasarnya karena ia ingin melepaskan orang Yahudi dari kesalahan mereka, seperti yang dibuat jelas dalam bukunya.
Ia berkata bahwa Matius tentunya tidak sedang menceritakan fakta historis. Pernyataannya itu adalah bidah.
Karya tulis Benediktus XVI sarat akan serangan-serangan satanik terhadap Kitab Suci, yang terkadang terlihat jelas, dan di lain waktu lebih licik dan tersembunyi.
BENEDIKTUS XVI BERKATA BAHWA KISAH PENCIPTAAN DALAM ALKITAB DIDASARI KISAH PENCIPTAAN PAGAN
Benediktus XVI, A New Song for the Lord [Lagu Baru untuk Tuhan], 1995, hal. 86: “Kultus yang berakar pada iman alkitabiah bukanlah suatu imitasi miniatur perjalanan dunia - sebagaimana adanya pada bentuk dasar dari semua kultus alam. Kultus itu adalah imitasi Allah sendiri dan karena itu merupakan pelaksanaan awal di dunia yang akan datang. Hanya dengan cara inilah orang dapat secara benar memahami keistimewaan kisah penciptaan alkitabiah. Kisah-kisah penciptaan pagan yang menjadi dasar sebagian kisah Alkitab berakhir tanpa terkecuali dengan ditetapkannya suatu kultus, namun kultusnya pada kasus ini terdapat di dalam siklus do ut des.”
Kami mengekspos karya tulisnya itu pada materi kami.
Benediktus XVI adalah seekor monster teologis! Dan kenyataan bahwa ia mengecoh banyak orang sehingga mengira dirinya itu konservatif (dan bahkan kaku) menyingkapkan besarnya delusi dan penyesatan serta ketidaktahuan yang ada pada masa kemurtadan Vatikan II ini di kalangan begitu banyak orang.
Kenyataannya, sehubungan dengan yang termuat dalam posisinya, Anti-Paus Benediktus XVI lebih buruk daripada Martin Luther. Ia mengajarkan beberapa bidah utama yang dianut Luther (seperti keselamatan hanya karena iman dan penolakan terhadap Kepausan), namun juga masih banyak lagi, termasuk bidah tentang agama-agama non-Kristiani, serangan-serangan terhadap Kitab Suci, dll.
BENEDIKTUS XVI MENDEFINISIKAN ISTILAH-ISTILAHNYA DAN MENYINGKAP KEMURTADAN TOTALNYA! MENGECUALIKAN EKSKLUSIVISME DAN MENERIMA INKLUSIVISME ATAU PLURALISME
“Kardinal” Joseph Ratzinger, Truth and Tolerance [Kebenaran dan Toleransi], 2004, hal 80: “Dengan mengikuti renungan-renungan tentang hubungan antara agama, iman, dan budaya ini, kita bisa kembali menyikapi klasifikasi solusi-solusi untuk permasalahan agama, yang kita jumpai sebelumnya dalam tiga konsep, yaitu eksklusivisme, inklusivisme dan pluralisme. Pada masa kini, mungkin tidak ada orang yang menerima kemungkinan eksklusivisme dalam makna menolak keselamatan bagi semua orang non-Kristen - yang omong-omong, bahkan bukan pandangan Karl Barth ... Maka pada dasarnya, untuk menanggapi pertanyaan tentang hubungan antara iman Kristiani dan agama-agama dunia, yang tersisa hanyalah dua solusi yang mungkin, yaitu inklusivisme dan pluralisme.”
Orang-orang perlu memahami bahwa kemurtadan Vatikan II serta para tokoh dan pemimpin utamanya ini – seperti Benediktus XVI – melambangkan serangan terakhir yang diupayakan Setan kepada Gereja Katolik. Para tokoh Vatikan utama Vatikan II itu dahulu dan sekarang merupakan orang-orang yang luar biasa jahat, yang memenuhi peranan bagi Iblis dalam pertarungan rohani yang terakhir. Dan kalau anda tidak menyadarinya, lantas anda tidak akan menyadari hal yang sedang terjadi di Roma dan yang telah berlangsung sejak Vatikan II.
Di samping menonton video yang kami sebutkan dan melihat dokumen-dokumen kami tentang dirinya, orang juga bisa saja pergi ke situs kami dan mencari kata-kata berikut: Benediktus XVI Yahudi, Benediktus XVI Islam, Benediktus XVI semua agama, dll.
Benediktus XVI, Sambutan kepada Konferensi Uskup Italia, 24 Mei 2007: “Penghargaan dan rasa hormat kepada semua agamaserta budaya lainnya, bersama benih-benih kebenaran dan kebaikan yang hadir di sana dan yang melambangkan persiapan untuk menerima Injil, terutama diperlukan pada hari ini dalam dunia yang sedang tumbuh semakin dekat bersama-sama.” (L’Osservatore Romano, 6 Juni 2007, hal. 3).
Menghargai sesuatu berarti menghormati, menjunjung tinggi hal itu. Pernyataannya ini berarti bahwa ia menganggap semua agama baik. Ini adalah bidah dan kemurtadan. Bidah yang lancang ini sekali lagi membuktikan bahwa Benediktus XVI tidak percaya sedikit pun akan Yesus Kristus atau Iman Katolik. Maka janganlah anda diperdaya oleh hal-hal “konservatif” yang terkadang dilakukannya; hal-hal itu hanyalah upaya-upaya penyesatan untuk membuat orang-orang menerima Kontra-Gereja Vatikan II.
Dan anda sungguh akan menemukan berlusin-lusin artikel pada situs kami, yang mendokumentasikan secara rinci dan dalam konteks dan dari tulisan-tulisan resminya, kemurtadan dan indiferentisme totalnya, yang berlangsung secara konstan.
Dan kalau-kalau perkataannya tidak cukup untuk anda, coba anda pertimbangan perbuatan-perbuatannya. Berikut sebuah cuplikan singkat dari video kami yang berjudul, Vatikan II Adalah Agama Baru, sebuah video penting yang mengekspos beberapa saja contoh dari partisipasi Benediktus XVI dalam ibadat non-Katolik, suatu kegiatan yang secara spesifik dikutuk oleh para Paus dan Gereja Katolik, sebagai dosa berat publik dan perwujudan bidah.
Paus Pius XI, Mortalium Animos (# 11), 6 Jan. 1928: “Maka, Saudara-Saudara yang Terhormat, jelaslah mengapa Takhta Apostolik ini tidak pernah mengizinkan umat-umatnya untuk mengambil bagian di dalam perkumpulan-perkumpulan [conventibus] orang-orang non-Katolik ….”
Paus Pius IX, Neminem vestrum (# 5), 2 Feb. 1854: “Kami ingin agar anda mengetahui bahwa para Biarawan ini mengirimkan kepada Kami suatu pengakuan dan penyataan yang amat baik tentang doktrin Katolik … Mereka bukan hanya membuat dengan setulus hati, dan dalam kata-kata yang persis, pengakuan bahwa mereka menerima semua peraturan dan dekret yang telah dikeluarkan atau yang akan dikeluarkan oleh para Paus Roma dan Kongregasi-Kongregasi Suci, terutama yang melarang communicatio in divinis [komunikasi dalam hal-hal ilahi] bersama para skismatis ….”
Benediktus XVI sering mengambil bagian di dalam ibadat non-Katolik. Pada tanggal 19 Agustus 2005, ia mengambil bagian secara aktif di dalam ibadat Yahudi di dalam sebuah sinagoga di kota Köln, Jerman. Ia bergabung dengan orang-orang Yahudi dalam doa kaddish dan membuat banyak sikap badan yang mempertunjukkan bahwa ia berpartisipasi secara aktif. Itu adalah kemurtadan.
Pada tanggal 30 November 2006, Benediktus XVI berdoa seperti orang-orang Muslim dengan menghadap Mekkah di dalam Mesjid Biru di Turki. Ia bahkan bersilang tangan untuk membuat sikap doa Muslim yang disebut “sikap keheningan”. Itu adalah kemurtadan.
Pada tanggal 23 September 2011, Benediktus XVI mengunjungi sebuah gereja Lutheran di Erfurt, Jerman. Sewaktu ia berada di sana, ia memuji Martin Luther dan mengambil bagian secara aktif di dalam ibadat Lutheran. Ia melakukan “pemberkatan” terhadap orang-orang bersama dengan “pastor” Lutheran dan ia bahkan berdoa bersama seorang “uskup” Lutheran perempuan. Benediktus XVI membungkuk kepada altar Lutheran. Tindakannya itu adalah dosa berat secara publik dan suatu ungkapan bidah terang-terangan.
Pada tanggal 17 September 2010, Benediktus XVI mengambil bagian di dalam ibadat Anglikan di biara Westminster bersama “Uskup Agung” Anglikan yang pro-homoseksual yang bernama Rowan Williams. Mereka melakukan perarakan bersama ke dalam gereja Protestan itu. Mereka berdoa bersama dan memberi “berkat” bersama. Itu adalah perwujudan dari suatu agama sesat. Benediktus XVI melangsungkan acara Assisinya sendiri yang keji pada tahun 2011; ia bukan hanya mengambil bagian secara aktif di dalam acara kemurtadan itu, tetapi sebagai tuan rumah dan pengorganisir acara itu, ia sendiri dengan demikian bergabung di dalam ibadat sesat dari orang-orang pagan, bidah, dsb. yang melaksanakan ibadat sesat pada acara tersebut.
Kami dapat memberikan berbagai contoh lain dari dosa berat Benediktus XVI yang dilakukannya dengan berpartisipasi di dalam ibadat sesat. Ia bukan hanya sering mengambil bagian di dalam ibadat sesat, tetapi ia juga secara eksplisit menyetujuinya dengan kata-katanya. Pada tanggal 18 Januari 2008, dalam suatu sambutan kepada delegasi ekumenis dari Finlandia, Benediktus XVI memuji doa bersama antara orang-orang Lutheran dan “Katolik” dan berkata, “ini adalah pintu kerajaan untuk ekumenisme”.
Benediktus XVI, Sambutan kepada para anggota dari Delegasi Ekumenis Finlandia, 18 Januari 2008: “Doa bersama antara umat Lutheran dan Katolik dari Finlandia adalah tindak saling berbagi, yang penuh kerendahan hati namun penuh kesetiaan, dalam doa Yesus, yang berjanji bahwa setiap doa yang diangkat kepada Bapa dalam nama-Nya akan didengarkan. Ini memang merupakan pintu kerajaan untuk ekumenisme: doa semacam itu menuntun kita untuk memandang Kerajaan Allah serta kesatuan Gereja dengan suatu cara yang baru; doa itu memperkuat ikatan-ikatan persekutuan kita …” (L’ Osservatore Romano, 30 Januari 2008, hal. 10. Versi bahasa Inggris)
Maka, kegiatan yang telah selalu dikutuk oleh Gereja Katolik sebagai perbuatan dosa berat, dinyatakan oleh Benediktus XVI sebagai jalan yang patut diikuti. Ia adalah seorang bidah terang-terangan.
Maka, menimbang fakta-fakta ini, sungguh menjijikkan ketika kita melihat begitu banyak kaum konservatif palsu yang memuji orang anti-Katolik ini, penjahat notorius ini! Sebagai contoh, Taylor Marshall membuat sebuah video lengkap tentang Benediktus XVI, dan tidak mengkritik ekumenisme sesatnya atau dosa-dosanya terhadap iman sama sekali! Itu adalah penipuan besar terhadap orang-orang!
[Taylor Marshall:] Saya cinta Paus Benediktus. Saya tadinya ingin dirinya tetap menjadi Paus. Ia memberi martabat kepada jabatan Kepausan, berpakaian dengan lebih tradisional. Ia bertindak secara lebih tradisional. Dan lihat saja Paus Benediktus. Dia itulah titik nol dari bentuk yang kaku, tradisional, keras, suka menghakimi dan munafik dari agama Katolik ini.
Dan ada orang-orang yang tak terhitung jumlahnya di luar sana, yang berpikir bahwa Anti-Paus Benediktus XVI itu baik dan Katolik dan kudus. Mereka sungguh tidak mengerti apa yang sedang terjadi sama sekali.
[“Orang Katolik”:] Dan kita juga bisa tahu bahwa Benediktus mengasihi Tuhan kita dan ia mengasihi Gereja.
Benediktus XVI memang punya karakter khusus sebagai seorang penipu. Ia melakukan beberapa hal yang konservatif, dan entah bagaimana berhasil membuat khalayak mengabaikan kejahatan-kejahatan serta keanti-Katolikkannya yang lain.
[Michael Matt:] Tetapi saya ingin berbicara kepada Fransiskus, seandainya dia sudi mendengar saya, “Paduka Suci, kanonisasikan Benediktus XVI dengan segala cara sesegera mungkin! Kanonisasikan Sri Paus yang menyelamatkan Misa berbahasa Latin. Angkatlah ke altar Bapa Suci yang membela tradisi dan kaum tradisionalis.
Masa kepemimpinannya dinubuatkan dalam Kitab Suci, seperti yang dibahas dalam video kami, Wahyu di Vatikan Sekarang.
Walaupun hal ini sama sekali bukan hal yang esensial untuk satu pun argumen kami, Benediktus XVI adalah raja ketujuh yang disebutkan dalam Kitab Wahyu, sehubungan dengan Pelacur Babel, dan kembalinya Roma pagan (yaitu binatang akhir zaman). Dan setelah ia mengundurkan diri, terjadilah keterkejutan dan ketakjuban yang besar.
Wahyu 17:4-5 - “Dan wanita itu didandani dengan kain ungu dan kain merah padam dan dihiasi dengan emas dan batu permata dan mutiara, sambil memegang cawan emas di tangannya yang penuh dengan kekejian dan kenajisan percabulannya. Dan pada dahinya ada tertulis suatu nama, suatu misteri: ‘Babel yang agung, Ibu dari para pelacur dan dari kekejian bumi.’”
Itulah alasan banyak orang yang sama ini juga sama-sama mencintai Yohanes Paulus II dan Benediktus XVI, kendati dosa-dosa berat publik serta ekumenisme sesat mereka, namun demikian mereka merasa jijik akan Fransiskus, walaupun kerap kali Fransiskus hanya melakukan perbuatan yang sama, yang dilakukan kedua Anti-Paus itu.
Dan terkadang, Yohanes Paulus II dan Benediktus XVI melakukan hal-hal jahat dan mengajarkan bidah-bidah yang tidak dilakukan atau diajarkan Fransiskus. Fransiskus hanya saja tidak punya sifat mengecoh atau karisma satanik yang dipunyai Yohanes Paulus II dan Benediktus XVI, dan hal itu terkait dengan keterkejutan serta ketakjuban besar yang terjadi sehubungan kembalinya Roma pagan setelah raja ketujuh.
Sang Binatang = Roma pagan
Wahyu 17:8 - "Dan orang-orang yang berdiam di bumi, yang nama-namanya tidak tertulis di dalam Kitab Kehidupan sejak permulaan dunia, mereka akan heran [θαυμασθήσονται] saat melihat sang binatang, sebab ia dahulu ada, dan sekarang tidak ada, dan akan datang.”
θαυμάζω (thaumazo) - Saya heran, saya takjub
θαυμάζω - “menjadi luar biasa terpukau atau terusik oleh sesuatu” (BDAG, hal. 444).
Beberapa orang mungkin berkata, “Tapi, kan, Benediktus XVI mengembalikan Misa berbahasa Latin”. Saya ingin sedikit mengomentari perkara itu.
Keputusan Benediktus XVI untuk memberi izin yang lebih luas untuk Misa berbahasa Latin, ketika kemurtadan Vatikan II sudah matang dan setelah ritus imamat baru yang tidak valid telah dipermaklumkan dan diimplementasikan, merupakan suatu keputusan yang diperhitungkan oleh Iblis, untuk menjaga orang-orang yang berpikiran konservatif tetap berada dalam Sekte Vatikan II dan di bawah para Anti-Paus Vatikan II. Supaya bisa memenangkan hal-hal tertentu, Iblis terkadang bersedia menyerah dalam hal-hal yang lain. Dan tentunya Iblis hanya dapat melakukan hal-hal yang diperkenankan kepadanya oleh Allah.
Prioritas Iblis adalah supaya orang-orang tetap berada di dalam Kontra-Gereja Vatikan II untuk menyambut kanonisasi palsu Anti-Paus Yohanes Paulus II, sebab sekalinya orang-orang menganggap si penyembah berhala dan pemurtad Anti-Paus Yohanes Paulus II itu sebagai seorang santo, mereka secara langsung terlibat dengan dosa-dosa terbuka yang dilakukan Yohanes Paulus II terhadap Perintah Allah yang Pertama. Itulah sebabnya penghormatan yang diberikan kepada gambar raja Romawi yang terluka merupakan nubuat kitab Wahyu.
Wahyu 13:3 - “Salah satu dari kepala-kepalanya [yakni, salah satu dari tujuh raja Roma yang terkait dengan sang Pelacur Babel – lihat Why. 17] tampak memiliki luka yang mematikan, tetapi luka yang mematikannya itu sembuh, dan seluruh bumi takjub seraya mengikuti sang binatang.”
Yang dimaksudkan dalam nubuat itu adalah kanonisasi palsu Anti-Paus Yohanes Paulus II dan kembalinya Roma pagan, seperti yang dibahas dalam video kami, Wahyu di Vatikan Sekarang.
Wahyu 13:14 - “ ... ia menipu orang-orang yang tinggal di bumi, dengan berkata kepada orang-orang yang tinggal di bumi untuk membuat sebuah gambar bagi binatang yang dilukai oleh pedang, yang walau bagaimanapun hidup.”
Kami tidak akan membahas semua detailnya di sini. Orang-orang bisa menonton videonya.
Dan juga, ketika Benediktus XVI memberi izin yang lebih luas untuk Misa berbahasa Latin, kebanyakan “imam” yang mempersembahkannya juga tidak valid, sebab mereka ditahbiskan dalam ritus imamat baru Paulus VI yang tidak valid.
Dan seperti yang telah kita lihat di bawah Anti-Paus Fransiskus, izin itu hanya bersifat sementara dan sudah dipersempit.
Maka, termasuk peranannya sebagai seorang penipu, misi Benediktus XVI adalah bertindak supaya dianggap konservatif pada tingkatan tertentu – demi menjaga supaya orang percaya bahwa ada hidup dan harapan dalam Kontra-Gereja Vatikan II, walaupun sebenarnya tidak ada – sembari melaju dalam kecepatan penuh dengan indiferentisme, ekumenisme sesat, dosa-dosa terhadap iman, dll.
Namun dengan izin yang lebih luas untuk Misa berbahasa Latin (meskipun “Misa-Misa” itu tidak valid karena tidak dipersembahkan oleh para imam yang valid), beberapa orang memang menjadi tertarik dengan tradisi-tradisi agama Katolik, dan itu memang kejadian yang baik. Namun orang-orang itulah yang lalu bertanggung jawab untuk tertarik dengan lebih aktif, menggali lebih dalam dan mencari tahu yang sebenarnya terjadi. Informasinya sudah tersedia di luar sana, seperti pada materi kami. Iblis bersedia menghadapi kemungkinan bahwa beberapa orang akan tertarik dengan Tradisi Katolik, selama ia bisa menjaga banyak kaum semi-konservatif dan konservatif palsu di bawah para Anti-Paus Vatikan II.
Di samping orang yang memuji-muji Anti-Paus Benediktus XVI yang fasik itu, ada banyak kaum tradisionalis palsu yang berkata demikian: “Beristirahatlah dalam Damai” terkait Benediktus XVI, atau berkata bahwa kita hendaknya mendoakan dia.
[Orang “Katolik”:] Doakan jiwa Joseph Ratzinger agar beristirahat kekal.
Berikut salah satu contohmya, seorang imam tradisionalis palsu yang berkata demikian.
[Imam Tradisionalis Palsu:] Dan omong-omong, Benediktus dahulu seorang pengekumenis. Hal itu sama sekali tidak bisa diragukan.
[Orang awam “Katolik”:] Tentunya, hendaknya jiwanya didoakan, Romo.
[Imam Tradisionalis Palsu:] Itulah kuncinya. Mendoakan jiwanya. Ada banyak yang harus dipertanggungjawabkannya.
Mereka sama sekali salah, dan mereka menentang ajaran Katolik.
Hal ini sudah kami bahas sebelumnya. Kami telah mengutip para Paus dalam perkara ini. Gereja mengajarkan bahwa anda tentunya boleh mendoakan pertobatan orang non-Katolik, para pendosa publik, dll. ketika mereka masih hidup, tetapi anda tidak boleh berdoa bagi orang yang meninggal sebagai non-Katolik, atau bahkan bagi orang Katolik yang meninggal dalam keadaan dosa berat.
Sehubungan orang yang meninggal dunia, orang Katolik hanya diizinkan berdoa bagi orang yang meninggal sebagai Katolik dan sudah dibaptis, yang bebas dari dosa berat yang kentara. Pada waktu lalu kami telah mengutip para Paus dalam perkara ini, termasuk Paus St. Gregorius Agung dan Paus Gregorius III.
Paus St. Gregorius Agung, Moralia in Job [Moral tentang Kitab Ayub], Buku 34: “Mereka [para kudus] mendoakan para musuh mereka pada waktu mereka mampu mempertobatkan hati mereka kepada penitensi yang berbuah … Dan inilah alasan yang sekarang berlaku bagi para kudus untuk tidak mendoakan orang-orang kafir dan orang-orang fasik yang mati; sebab mereka [yakni para kudus] tidak menghendaki jasa-jasa doa mereka disisihkan, di hadirat sang Hakim yang adil, atas nama orang-orang yang mereka ketahui sudah diserahkan ke dalam hukuman yang kekal.”
Paus St. Gregorius III, sekitar 732 M: “Anda meminta nasihat tentang keabsahan perihal membuat persembahan bagi orang yang sudah mati. Ajaran Gereja demikian adanya – hendaknya setiap orang membuat persembahan-persembahan bagi mereka yang telah meninggal sebagai orang Kristen sejati [Katolik] … Namun ia tidak diizinkan untuk melakukannya bagi mereka yang meninggal dalam keadaan dosa, seandainya pun mereka orang Kristen.”
Namun berikut dua kutipan lain yang relevan terhadap perkara ini, dari seorang Paus Gregorius yang lain: Paus St. Gregorius VII, salah seorang Paus yang paling perkasa di dalam sejarah. Saya sudah membaca kesembilan buku dalam Register Buku Paus St. Gregorius VII.
Pada komentarnya di tahun 1082 tentang Pangeran Yordanus yang terekskomunikasi, Paus St. Gregorius VII berkata:
Paus St. Gregorius Vll, Setelah tanggal 24 Juni 1082: "Maka barang siapa tidak taat kepada nasihat-nasihat anda atau perintah-perintah Kami atau otoritas Petrus yang terberkati dan akan mati dalam kesetiaan atau pelayanan kepada Yordanus, doa tentunya tidak boleh dipersembahkan untuk orang itu; dan Kami juga memerintahkan supaya ia tidak diserahkan untuk penguburan seturut adat orang Kristen.”
Maka kita di sini kembali melihat bahwa orang Katolik tidak diizinkan berdoa untuk orang-orang yang meninggal dalam ketidaktaatan kepada otoritas Kepausan, dan asas itu berlaku kepada semua pendosa serta bidah publik.
Paus yang sama ini juga mengajarkan asas yang sama pada tahun 1076, sehubungan Uskup Wilhelmus yang terekskomunikasi.
Paus St. Gregorius VII, 28 Okt. 1076: “Maka jika dalam skisma ini, yang dengan lancang dilakukan terhadap Gereja yang Kudus dan Apostolik … ia atau siapa saja yang akan secara sukarela memberikan tanda tangannya, sembari secara sadar berkomunikasi dengan raja yang telah diekskomunikasikan, telah mati atau akan mati tanpa pertobatan dan penyilihan, Kami tidak dapat berbelok dari keputusan yang relevan dari para bapa yang kudus – yakni, ‘Jika kita tidak berkomunikasi dengan mereka ketika mereka dahulu masih hidup, kita tidak boleh berkomunikasi dengan mereka ketika mereka sudah mati.’”
Namun Sri Paus lalu berkata bahwa bagi mereka yang tidak berkomunikasi dengan pihak terekskomunikasi, doa-doa boleh dipersembahkan kepada Tuhan – tetapi tidak boleh untuk orang yang berkomunikasi dengan pihak terekskomunikasi dan mati dalam keadaan itu. Maka kembali lagi, kita melihat bahwa orang Katolik tidak boleh berdoa untuk individu yang meninggal di luar persekutuan dengan Gereja atau dalam dosa berat.
Paus St. Gregorius VII mengutip asas ini, asas yang berasal dari Paus St. Leo Agung, yaitu bahwa
“Jika kita tidak berkomunikasi dengan mereka ketika mereka dahulu masih hidup, kita tidak boleh berkomunikasi dengan mereka ketika mereka sudah mati.”
Gereja mengajarkan bahwa jika mereka dahulu tidak bersekutu dengan Gereja sebelum akhir hidup mereka, anda tidak boleh berdoa bagi mereka setelah mereka mati. Itulah ajaran Katolik, dan asas itu memang diikutsertakan ke dalam hukum kanon abad pertengahan. Asas itu juga terkait dengan alasan semua orang yang tak dibaptis, termasuk para katekumen yang belum dibaptis, tidak diberi penguburan Kristiani jika mereka meninggal tanpa Sakramen Pembaptisan. Itulah Tradisi kuno. Namun itu adalah sebuah topik yang agak terpisah.
Anti-Paus Benediktus XVI adalah seorang bidah dan pemurtad notorius, seorang pendosa publik yang sama sekali tidak memberi bukti dirinya bertobat atau meninggalkan ekumenisme sesatnya, namun justru mengikut Kontra-Gereja Vatikan II sampai akhir hayat dan merupakan salah seorang pemimpin sekte tersebut. Oleh sebab itulah ia tidak dapat dianggap telah mati sebagai orang Katolik, dan orang Katolik tidak boleh berdoa untuk dirinya. Itulah kebenarannya. Mereka yang secara salah berkata bahwa perbuatan ini menentang kasih, mereka tidak tahu yang sedang mereka katakan. Tidak, andalah yang tidak punya kasih Kristiani.
Fondasi dari kasih, seturut ajaran Paus Pius XI, adalah iman yang murni dan tidak ternodai.
Paus Pius XI, Mortalium Animos (#9), 6 Jan. 1928: “Itulah sebabnya, karena fondasi dari kasih adalah iman yang murni dan tidak ternodai, maka dari itu kesatuan iman haruslah merupakan ikatan yang hakiki yang mempersatukan para murid Kristus ....”
Anda tidak bisa memahami kasih yang sejati ataupun memilikinya, jika anda tidak punya iman sejati. Allah mencampakkan orang-orang ke dalam Neraka untuk selama-lamanya kalau mereka menyangkal satu pun ajaran-Nya. Itulah hukum-Nya. Itulah yang dilakukan-Nya.
Selama berpuluh-puluh tahun, Anti-Paus Benediktus XVI telah meluncurkan serangan-serangan rohani kepada Tuhan kita, Gereja-Nya, Kepausan-Nya, dan dogma-dogma-Nya, dan ia sekarang menuai apa yang telah ditaburkannya. Kenyataan bahwa ia membuat beberapa pernyataan rohaniah sebelum kematiannya pada pangkalnya konsisten dengan peranannya yang satanik sebagai seorang penipu. Benediktus XVI tidak meninggalkan agama Vatikan II ataupun ekumenisme sesat Vatikan II. Tidak ada bukti untuk hal itu. Sebaliknya, ia terhubung dengan sekte Vatikan II dan merupakan salah seorang pemimpinnya sampai akhir hayat. Itulah kebenarannya. Perkara-perkara ini serta apa yang harus dilakukan, dibahas secara lebih rinci dalam materi kami. Orang-orang perlu menjadi Katolik tradisional, seperti yang dibahas materi kami.